(Sumber: nalarpolitik.com)
A. Perlawanan
Rakyat Aceh
Perlawanan rakyat Cot Plieng terhadap Jepang
dilatarbelakangi oleh kebijakan Seikeirei
yang diterapkan pemerintah Jepang terhadap rakyat Aceh. Seikeirei dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam sehingga ulama Aceh menentang kebijakan tersebut. Selain itu,
pemerintah Jepang juga melakukan kekejaman dan kesewenangan terutama terhadap
romusa. Perlawanan rakyat Aceh di Cot Plieng dipimpin oleh seorang ulama
bernama Tengku Abdul Djalil menamakan Jepang sebagai “Kafir Majusi”.
Oleh Tengku Abdul Djalil, “Kafir Majusi” ini dianggap
lebih berbahaya dari “Kafir Kitabi” (Belanda). Pada awalnya Tengku Abdul Djalil
melakukan perlawanan dengan cara berdakwah untuk mengajak rakyat Aceh memboikot
kebijakan Jepang. Dalam perkembangannya, Tengku Abdul Djalil mengajak rakyat
mengadakan jihad melawan Jepang.
Pada 10 November 1942 pasukan Jepang dikerahkan ke Cot
Plieng untuk menghadapi murid-murid Tengku Abdul Djalil. Setelah melakukan
serangan selama setengah hari, pasukan Jepang berhasil menguasai Cot Plieng. Mereka
membakar masjid dan rumah penduduk di sekitarnya. Tengku Abdul Djalil berhasil
meloloskan diri ke Buloh Blang Ara, akan tetapi pada 13 November 1942 Jepang
melakukan pengejaran terhadap pasukan Tengku Abdul Djalil dan berhasil membunuh
Tengku Abdul Djalil saat sedang menjalankan shalat.
Perlawanan terhadap Jepang di Aceh juga dilakukan oleh
pasukan Giyugun yang dipimpin oleh
Teuku Hamid pada November 1944. Perlawanan tersebut terjadi karena Teuku Hamid
tidak setuju terhadap praktik eksploitasi Jepang terhadap tanah pertanian
rakyat dan pengerahan romusa. Dalam mengahadapi perlawanan Teuku Hamid, Jepang
mengancam akan membunuh keluarga para pemberontak jika tidak mau menyerah. Kondisi
tersebut memaksa sebagian pemberontak menyerah sehingga perlawanan dapat
ditumpas pemerintah Jepang.
Berikutnya perlawanan berkobar di Pandrah Kabupaten
Bireun. Perlawanan disebabkan oleh masalah menyetoran padi dan pengerahan
romusa. Kerja paksa yang diadakan Jepang terlalu memakan waktu panjang sehingga
para petani hampir tidak memiliki kesempatan untuk menggarap sawah. Jepang juga
menancapi bambu runcing di sawah-sawah dengan maksud agar tidak dapat digunakan
Sekutu untuk mendaratkan pasukan payungnya. Tindakan Jepang ini sangat
merugikan rakyat. Fakta yang memberatkan lagi, Jepang juga memaksa rakyat untuk
menyerahkan hasil panennya sebanyak 50 – 80 %.
B. Perlawanan
di Singaparna
Singaparna merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat
yang rakyatnya dikenall sangat religius dan memiliki jiwa patriotik. Rakyat Singaparna
juga dikenal anti terhadap dominasi asing. Rakyat Singaparna menentang
keberadaan Jepang di Indonesia, sehingga dalam perkembangannya rakyat
Singaparna melakukan perlawanan terhadap Jepang. Perlawanan ini disebabkan oleh
penerapan kebijakan pemerintah Jepang dalam kehidupan masyarakat yang bertolak
belakang dengan ajaran Islam dan menyebabkan penderitaan rakyat.
Perlawanan di Singaparna terjadi di pesantren Sukamanah
dan dipimpin K.H. Zaenal Mustafa
yang menolak dengan tegas kebijakan Jepang, khususnya kewajiban melakukan Seikeirei setiap pagi. Selain itu, ia
tidak setuju dengan kebijakan penyerahan wajib hasil panen rakyat kepada Jepang
dan pengerahan romusa.
Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah
ancaman ternyata sangat mengganggu ketentraman rakyat. Para romusa dari
Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya tidak
kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat tindakan Jepang tang
tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa diketahui
dimana dikuburkan.
K.H. Zaenal Mustafa mengawali perlawanannya dengan
memboikot seluruh kebijakan Jepang. Ia juga membentuk “Pasukan Tempur Sukamanah”
yang dipimpin Najminudin. Selanjutnya, pasukan ini melakukan penculikan
terhadap pejabat Jepang di Tasikmalaya. Pasukan K.H. Zaenal Mustafa kemudian
melakukan praktik sabotase dengan memutus kawat telepon sehingga Jepang tidak
dapat berkomunikasi. Pasukan K.H. Zaenal Mustafa juga membebaskan tahanan-tahanan
politik yang ditangkap dan disandera Jepang.
Pada awal Februari 1944 Jepang mengirim beberapa
utusannya untuk berunding dengan K.H. Zaenal Mustafa. Akan tetapi, K.H. Zaenal
Mustafa tidak bersedia berunding dengan pasukan tersebut. Setelah gagal
berunding dengan K.H. Zaenal Mustafa, pasukan Jepang mundur dan kembali ke
Tasikmalaya. Pasukan K. H. Zaenal Mustafa juga memberikan ultimatum kepada
Jepang agar segera memerdekakan Jawa.
Hari berikutnya, Jepang kembali mengirim beberapa perwiranya
untuk berunding dengan K. H. Zaenal Mustafa. Utusan tersebut bersikap congkak
dan sombong, yang menyulut kemarahan pengikut K. H. Zaenal Mustafa dan memicu
bentrokan yang menewaskan beberapa utusan Jepang.
Setelah gagal melakukan perundingan dengan K. H. Zaenal
Mustafa, Jepang memutuskan menggunakan kekerasan sebagai upaya mengakhiri
perlawanan terhadap Jepang. Pada 25 Februari 1944 terjadi pertempuran sengit
antara pengikut K. H. Zaenal Mustafa dan pasukan Jepang. Pasukan Jepang
berhasil menangkap K. H. Zaenal Mustafa beserta gurunya Kiai Emar dan
membawanya ke Tasikmalaya, kemudian ke Jakarta untuk menerima hukuman mati. Sementara
Kia Emar disiksa oleh polisi Jepang dan akhirnya meninggal dunia. Jenazah K. H.
Zaenal Mustafa dimakamkan di Ancol, Jakarta.
C. Perlawanan
di Indramayu
Zaman Kuintalan, begitulah para petani Indramayu
menyebut masa pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang memperkenalkan kuintal
sebagai satuan berat padi yang wajib disetorkan rakyat Indramayu kepada
pemerintah Jepang. Kewajiban menyetor sebagian hasil padi kepada
pemerintah Jepang inilah yang menjadi penyebab perlawanan rakyat Indramayu terhadap
pemerintah Jepang, serta pelaksanaan romusa turut menyebabkan terjadinya
perlawanan tersebut.
Perlawanan rakyat Indramayu dilakukan oleh golongan
petani. Perlawanan ini terjadi karena petani diharuskan menyerahkan tiga atau
empat kali hasil panen padi lebih banyak daripada daerah lain. Sistem pungutan
ini sangat merugikan petani kaya, dan berpengaruh pada penduduk desa yang
menggantungkan hidupnya kepada petani kaya sebagai pemilik tanah. Perlawanan ini
dipelopori oleh beberapa petani kaya, seperti Haji Aksan dan Haji Madrais dari
desa Lohbener.
Pada maret 1944 terjadi protes petani di desa Kaplongan
(Karangampel) di bawah pimpinan Haji Aksan, yang menolak menyerahkan padinya
kepada pemerintah Jepang. Haji Aksan dijemput paksa oleh polisi dan dibawa ke
balai desa untuk diinterogasi. Rakyat desa Kaplongan yang melihat pemimpinnya
ditangkap, dengan spontan berteriak-teriak, “jangan tangkap dia, dia orang
baik, dia tidak bersalah”. Polisi yang membawa Haji Aksan melepaskan tembakan
peringatan, yang menyebabkan rakyat marah dan langsung berhambur memenuhi balai
desa sehingga suasana menjadi ricuh. Bentrokan tersebut menimbulkan beberapa
korban.
Untuk menumpas perlawan tersebut, Jepang memanfaatkan
pemimpin agama seperti Kiai Abbas yang memiliki pesantren di desa Bantet,
Sindang – Laut. Kiai Abbas diminta menjadi penengah antara pemerintah Jepang
dan pelaku perlawanan. Kiai Abbas datang ke desa Kaplongan dan melakukan pertemuan
dengan perwakilan rakyat desa Kaplongan. Dalam pertemuan tersebut seorang
pemimpin perlawanan ditangkap. Oleh karena itu, perlawanan di desa Kaplongan
tersebut dapat ditumpas. Akibatnya, Kiai Abbas dijuluki sebagai “Kiai Nippon”
oleh petani desa Kaplongan.
Protes petani di desa Kaplongan mengobarkan semangat
desa-desa lain di Indramayu untuk melakukan perlawanan, salah satunya desa
Cidempet. Protes sosial masyarakat Cidempet dipelopori oleh Haji Madrais. Ia dibantu
oleh Haji Dulkarim dari desa Panyindangan Kidul, Sura dari desa Sindang,
Karsina dari desa Sliyeg, dan Tasiah dari desa Pranggong. Mereka memimpin
rakyat di Kecamatan Lohbener, Sindang, Losarang dan beberapa daerah lain untuk
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Jepang.
Protes sosial rakyat Cidempet yang berujung bentrok fisik
sudah dimulai ketika musim panen tiba. Pemberontakan Cidempet meluas hingga
memunculkan solidaritas masyarakat Indramayu di setiap desa untuk melawan
Jepang. Keberanian rakyat untuk melawan penguasa menjadi bukti bahwa petani
Indramayu siap dengan segala risiko yang akan diterima walau nyawa taruhannya. Setelah
peristiwa Kaplongan dan Cidempet, kekacauan menjalar kemana-mana, stabilitas
keamanan menjadi terganggu. Protes sosial Indramayu diakhiri dengan banyaknya Kiai
desa yang ditangkap. Selain itu, terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia
menyebabkan Jepang meninggalkan Indramayu sehingga perlawanan rakyat Indramayu
terhadap Jepang berakhir.
D. Perlawanan
PETA di Blitar
Perlawanan di Blitar diperlopori oleh tentara Peta yang
dibentuk Jepang. Mereka mendengar penderitaan para petani yang dipaksa menjual
padinya kepada Kumiai (Koperasi)
melebihi jatah yang telah ditentukan sehingga sisanya tidak cukup untuk menghidupi
keluarga. Jepang telah memerintahkan pembelian telur secara besar-besaran
dengan harga murah untuk tentara Peta. Namun pada kenyataannya tentara Peta
tidak pernah mendapat jatah telur. Kekecewaan para tentara Peta semakin
meningkat ketika mereka mengawasi pekerjaan para romusa membangun kubu-kubu di
Pantai Selatan.
Perlawanan Peta di bawah pimpinan Shodanco Supriyadi dimulai pada 14 Februari 1945. Meskipun demikian,
pertempuran terbuka antara tentara Peta dan pasukan Jepang baru terjadi pada 29
Februari 1945. Tentara Peta mulai mempersenjatai diri dengan mortir, senapan
mesin, dan granat. Mereka menyerang beberapa pos penjagaan Jepang di Blitar. Jepang
menyerukan dan membujuk pasukan Peta agar segera kembali ke asramanya, beberapa
anggota Peta yang kembali ke asrama ternyata mendapat siksaan dari pasukan
Jepang.
Pasukan Peta yang bertahan untuk melakukan pemberontakan
terus melakukan perlawanan di bawah komando Shodanco
Supriyadi dan Shodanco Muradi. Mereka
membangun benteng pertahanan di gunung Kawi dan distrik Pare. Untuk menghadapi
perlawanan Supriyadi dan Muradi, Jepang menggunakan strategi tipu muslihat. Komandan
pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah pada pasukan Supriyadi
dan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan
Peta dengan lemah lembut dan penuh kesantunan sehingga Supriyadi dan Muradi
melunak.
Kolonel Katagiri mengadakan kesepakatan bahwa pasukan
Peta yang terlibat pemberontakan tidak akan dibawa ke pengadilan militer
asalkan kembali ke asrama. Muradi segera melapor ke Daidanco Surachmad, dan tidak menyadari dengan strategi tersebut
pasukan Jepang berhasil mengepung pasukan Peta dan melucuti senjatanya. Mereka kemudian
ditawan dan diangkut ke markas Kempetai Blitar.
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pemberontakan tersebut selanjutnya di bawa ke
Mahkamah Militer Jepang di Jakarta, mereka dijatuhi hukuman sesuai dengan peran
masing-masing.
(Sumber: historia.id)
Perlawanan
tentara PETA di Cilacap. Perlawanan PETA Cilacap dipimpin oleh Budanco Kusaeri.
Perlawanan direncanakan akan dimulai pada tanggal 21 April 1945 akan tetapi
diketahui oleh Jepang. Sehingga pada tanggal 25 April 1945, Kusaeri dan
teman-temannya ditangkap.
E. Perlawanan
di Kalimantan
Salah satu perlawanan rakyat Kalimantan terhadap Jepang
dilakukan oleh suku Dayak yang dipimpin oleh Pang Suma pada 16 Oktober 1943.
Pang Suma merupakan pemimpin suku Dayak yang memiliki pengaruh cukup besar
dikalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau.
(Sumber : pustakamadani.com)
Perlawanan suku Dayak dilatarbelakangi oleh penindasan
pemerintah Jepang. Seperti menjatuhkan hukuman jemur sampai pingsan terhadap
orang yang melakukan kesalahan kecil. Orang-orang yang dicurigai ditangkap,
bahkan ada yang dihukum di depan umum. Pang Suma juga tidak
setuju dengan aksi rekrutmen mata-mata yang dilakukan Jepang terhadap penduduk
lokal, agar Jepang mampu meminimalkan usaha perlawanan yang mungkin
dilancarkan oleh rakyat Dayak.
(Sumber: netralnews.com)
Pang Suma dan pengikutnya melancarkan aksi perlawanan
dengan taktik perang gerilya. Hal ini dilakukan untuk mengganggu aktivitas
pemerintahan Jepang di Kalimantan. Meskipun demikian perlawanan Pang Suma dapat
dipadamkan karena adanya mata-mata Jepang dari penduduk lokal. Penduduk lokal
menginformasikan strategi pergerakan pasukan Pang Suma kepada Jepang.
F. Perlawanan
di Papua
Perlawanan rakyat Papua diawali oleh Gerakan Koreri yang
muncul di Biak. Gerakan Koreri di Biak terjadi pada 1943 dan dipimpin oleh L.
Rumkorem. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat dan
penyiksaan oleh Jepang. Rakyat Biak memilih menggunakan strategi perang gerilya
untuk melawan Jepang. Mereka mampu merepotkan Jepang yang tidak memiliki
pengetahuan terhadap alam Papua.
Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang Biak
dan memilih meninggalkan Biak. Oleh karena itu, Pulau Biak dikenal
sebagai daerah pertama di Indonesia yang bebas dari pendudukan Jepang. Perlawanan
rakyat Biak meluas ke berbagai daerah di Papua bagian selatan, salah satunya di
wilayah Yapen Selatan.
Perlawanan di Yapen Selatan dipimpin oleh Nimrod. Dalam melawan
Jepang, rakyat Yapen Selatan memperoleh bantuan persenjataan dari Sekutu. Dalam
pertempuran tersebut, Jepang berhasil menangkap Nimrod dan menghukumnya dengan
hukuman pancung. Namun perlawanan rakyat Yapen Selatan tidak berakhir begitu
saja, hingga munculnya pemimpin baru di Yapen Selatan yaitu Silas Papare.
Sumber:
4. Ringgo Rahata dkk. 2019.
Sejarah untuk SMA/MA: Peminatan ilmu-ilmu sosial(Pegangan Guru). Yogyakarta, PT
Intan Pariwara.
5. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. 2017. Sejarah Indonesia Kelas XI Semester 2. (edisi Revisi). Jakarta
No comments:
Post a Comment