Tuesday, April 14, 2020

Pendudukan Jepang - Perlawanan Rakyat Indonesia

(Sumber: nalarpolitik.com)


A.   Perlawanan Rakyat Aceh
Perlawanan rakyat Cot Plieng terhadap Jepang dilatarbelakangi oleh kebijakan Seikeirei yang diterapkan pemerintah Jepang terhadap rakyat Aceh. Seikeirei dianggap bertentangan dengan ajaran Islam sehingga ulama Aceh menentang kebijakan tersebut. Selain itu, pemerintah Jepang juga melakukan kekejaman dan kesewenangan terutama terhadap romusa. Perlawanan rakyat Aceh di Cot Plieng dipimpin oleh seorang ulama bernama Tengku Abdul Djalil menamakan Jepang sebagai “Kafir Majusi”.
Oleh Tengku Abdul Djalil, “Kafir Majusi” ini dianggap lebih berbahaya dari “Kafir Kitabi” (Belanda). Pada awalnya Tengku Abdul Djalil melakukan perlawanan dengan cara berdakwah untuk mengajak rakyat Aceh memboikot kebijakan Jepang. Dalam perkembangannya, Tengku Abdul Djalil mengajak rakyat mengadakan jihad melawan Jepang.
Pada 10 November 1942 pasukan Jepang dikerahkan ke Cot Plieng untuk menghadapi murid-murid Tengku Abdul Djalil. Setelah melakukan serangan selama setengah hari, pasukan Jepang berhasil menguasai Cot Plieng. Mereka membakar masjid dan rumah penduduk di sekitarnya. Tengku Abdul Djalil berhasil meloloskan diri ke Buloh Blang Ara, akan tetapi pada 13 November 1942 Jepang melakukan pengejaran terhadap pasukan Tengku Abdul Djalil dan berhasil membunuh Tengku Abdul Djalil saat sedang menjalankan shalat.

Perlawanan terhadap Jepang di Aceh juga dilakukan oleh pasukan Giyugun yang dipimpin oleh Teuku Hamid pada November 1944. Perlawanan tersebut terjadi karena Teuku Hamid tidak setuju terhadap praktik eksploitasi Jepang terhadap tanah pertanian rakyat dan pengerahan romusa. Dalam mengahadapi perlawanan Teuku Hamid, Jepang mengancam akan membunuh keluarga para pemberontak jika tidak mau menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pemberontak menyerah sehingga perlawanan dapat ditumpas pemerintah Jepang.
Berikutnya perlawanan berkobar di Pandrah Kabupaten Bireun. Perlawanan disebabkan oleh masalah menyetoran padi dan pengerahan romusa. Kerja paksa yang diadakan Jepang terlalu memakan waktu panjang sehingga para petani hampir tidak memiliki kesempatan untuk menggarap sawah. Jepang juga menancapi bambu runcing di sawah-sawah dengan maksud agar tidak dapat digunakan Sekutu untuk mendaratkan pasukan payungnya. Tindakan Jepang ini sangat merugikan rakyat. Fakta yang memberatkan lagi, Jepang juga memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil panennya sebanyak 50 – 80 %.

B.   Perlawanan di Singaparna
Singaparna merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat yang rakyatnya dikenall sangat religius dan memiliki jiwa patriotik. Rakyat Singaparna juga dikenal anti terhadap dominasi asing. Rakyat Singaparna menentang keberadaan Jepang di Indonesia, sehingga dalam perkembangannya rakyat Singaparna melakukan perlawanan terhadap Jepang. Perlawanan ini disebabkan oleh penerapan kebijakan pemerintah Jepang dalam kehidupan masyarakat yang bertolak belakang dengan ajaran Islam dan menyebabkan penderitaan rakyat.
Perlawanan di Singaparna terjadi di pesantren Sukamanah dan dipimpin         K.H. Zaenal Mustafa yang menolak dengan tegas kebijakan Jepang, khususnya kewajiban melakukan Seikeirei setiap pagi. Selain itu, ia tidak setuju dengan kebijakan penyerahan wajib hasil panen rakyat kepada Jepang dan pengerahan romusa.
Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah ancaman ternyata sangat mengganggu ketentraman rakyat. Para romusa dari Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat tindakan Jepang tang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak yang meninggal tanpa diketahui dimana dikuburkan.
K.H. Zaenal Mustafa mengawali perlawanannya dengan memboikot seluruh kebijakan Jepang. Ia juga membentuk “Pasukan Tempur Sukamanah” yang dipimpin Najminudin. Selanjutnya, pasukan ini melakukan penculikan terhadap pejabat Jepang di Tasikmalaya. Pasukan K.H. Zaenal Mustafa kemudian melakukan praktik sabotase dengan memutus kawat telepon sehingga Jepang tidak dapat berkomunikasi. Pasukan K.H. Zaenal Mustafa juga membebaskan tahanan-tahanan politik yang ditangkap dan disandera Jepang.
Pada awal Februari 1944 Jepang mengirim beberapa utusannya untuk berunding dengan K.H. Zaenal Mustafa. Akan tetapi, K.H. Zaenal Mustafa tidak bersedia berunding dengan pasukan tersebut. Setelah gagal berunding dengan K.H. Zaenal Mustafa, pasukan Jepang mundur dan kembali ke Tasikmalaya. Pasukan K. H. Zaenal Mustafa juga memberikan ultimatum kepada Jepang agar segera memerdekakan Jawa.
Hari berikutnya, Jepang kembali mengirim beberapa perwiranya untuk berunding dengan K. H. Zaenal Mustafa. Utusan tersebut bersikap congkak dan sombong, yang menyulut kemarahan pengikut K. H. Zaenal Mustafa dan memicu bentrokan yang menewaskan beberapa utusan Jepang.
Setelah gagal melakukan perundingan dengan K. H. Zaenal Mustafa, Jepang memutuskan menggunakan kekerasan sebagai upaya mengakhiri perlawanan terhadap Jepang. Pada 25 Februari 1944 terjadi pertempuran sengit antara pengikut K. H. Zaenal Mustafa dan pasukan Jepang. Pasukan Jepang berhasil menangkap K. H. Zaenal Mustafa beserta gurunya Kiai Emar dan membawanya ke Tasikmalaya, kemudian ke Jakarta untuk menerima hukuman mati. Sementara Kia Emar disiksa oleh polisi Jepang dan akhirnya meninggal dunia. Jenazah K. H. Zaenal Mustafa dimakamkan di Ancol, Jakarta.

C.   Perlawanan di Indramayu
Zaman Kuintalan, begitulah para petani Indramayu menyebut masa pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang memperkenalkan kuintal sebagai satuan berat padi yang wajib disetorkan rakyat Indramayu kepada pemerintah Jepang. Kewajiban menyetor sebagian hasil padi kepada pemerintah Jepang inilah yang menjadi penyebab perlawanan rakyat Indramayu terhadap pemerintah Jepang, serta pelaksanaan romusa turut menyebabkan terjadinya perlawanan tersebut.
Perlawanan rakyat Indramayu dilakukan oleh golongan petani. Perlawanan ini terjadi karena petani diharuskan menyerahkan tiga atau empat kali hasil panen padi lebih banyak daripada daerah lain. Sistem pungutan ini sangat merugikan petani kaya, dan berpengaruh pada penduduk desa yang menggantungkan hidupnya kepada petani kaya sebagai pemilik tanah. Perlawanan ini dipelopori oleh beberapa petani kaya, seperti Haji Aksan dan Haji Madrais dari desa Lohbener.
Pada maret 1944 terjadi protes petani di desa Kaplongan (Karangampel) di bawah pimpinan Haji Aksan, yang menolak menyerahkan padinya kepada pemerintah Jepang. Haji Aksan dijemput paksa oleh polisi dan dibawa ke balai desa untuk diinterogasi. Rakyat desa Kaplongan yang melihat pemimpinnya ditangkap, dengan spontan berteriak-teriak, “jangan tangkap dia, dia orang baik, dia tidak bersalah”. Polisi yang membawa Haji Aksan melepaskan tembakan peringatan, yang menyebabkan rakyat marah dan langsung berhambur memenuhi balai desa sehingga suasana menjadi ricuh. Bentrokan tersebut menimbulkan beberapa korban.
Untuk menumpas perlawan tersebut, Jepang memanfaatkan pemimpin agama seperti Kiai Abbas yang memiliki pesantren di desa Bantet, Sindang – Laut. Kiai Abbas diminta menjadi penengah antara pemerintah Jepang dan pelaku perlawanan. Kiai Abbas datang ke desa Kaplongan dan melakukan pertemuan dengan perwakilan rakyat desa Kaplongan. Dalam pertemuan tersebut seorang pemimpin perlawanan ditangkap. Oleh karena itu, perlawanan di desa Kaplongan tersebut dapat ditumpas. Akibatnya, Kiai Abbas dijuluki sebagai “Kiai Nippon” oleh petani desa Kaplongan.
Protes petani di desa Kaplongan mengobarkan semangat desa-desa lain di Indramayu untuk melakukan perlawanan, salah satunya desa Cidempet. Protes sosial masyarakat Cidempet dipelopori oleh Haji Madrais. Ia dibantu oleh Haji Dulkarim dari desa Panyindangan Kidul, Sura dari desa Sindang, Karsina dari desa Sliyeg, dan Tasiah dari desa Pranggong. Mereka memimpin rakyat di Kecamatan Lohbener, Sindang, Losarang dan beberapa daerah lain untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Jepang.
Protes sosial rakyat Cidempet yang berujung bentrok fisik sudah dimulai ketika musim panen tiba. Pemberontakan Cidempet meluas hingga memunculkan solidaritas masyarakat Indramayu di setiap desa untuk melawan Jepang. Keberanian rakyat untuk melawan penguasa menjadi bukti bahwa petani Indramayu siap dengan segala risiko yang akan diterima walau nyawa taruhannya. Setelah peristiwa Kaplongan dan Cidempet, kekacauan menjalar kemana-mana, stabilitas keamanan menjadi terganggu. Protes sosial Indramayu diakhiri dengan banyaknya Kiai desa yang ditangkap. Selain itu, terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia menyebabkan Jepang meninggalkan Indramayu sehingga perlawanan rakyat Indramayu terhadap Jepang berakhir.

D.   Perlawanan PETA di Blitar
Perlawanan di Blitar diperlopori oleh tentara Peta yang dibentuk Jepang. Mereka mendengar penderitaan para petani yang dipaksa menjual padinya kepada Kumiai (Koperasi) melebihi jatah yang telah ditentukan sehingga sisanya tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Jepang telah memerintahkan pembelian telur secara besar-besaran dengan harga murah untuk tentara Peta. Namun pada kenyataannya tentara Peta tidak pernah mendapat jatah telur. Kekecewaan para tentara Peta semakin meningkat ketika mereka mengawasi pekerjaan para romusa membangun kubu-kubu di Pantai Selatan.
Perlawanan Peta di bawah pimpinan Shodanco Supriyadi dimulai pada 14 Februari 1945. Meskipun demikian, pertempuran terbuka antara tentara Peta dan pasukan Jepang baru terjadi pada 29 Februari 1945. Tentara Peta mulai mempersenjatai diri dengan mortir, senapan mesin, dan granat. Mereka menyerang beberapa pos penjagaan Jepang di Blitar. Jepang menyerukan dan membujuk pasukan Peta agar segera kembali ke asramanya, beberapa anggota Peta yang kembali ke asrama ternyata mendapat siksaan dari pasukan Jepang.
Pasukan Peta yang bertahan untuk melakukan pemberontakan terus melakukan perlawanan di bawah komando Shodanco Supriyadi dan Shodanco Muradi. Mereka membangun benteng pertahanan di gunung Kawi dan distrik Pare. Untuk menghadapi perlawanan Supriyadi dan Muradi, Jepang menggunakan strategi tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang, Kolonel Katagiri berpura-pura menyerah pada pasukan Supriyadi dan Muradi. Kolonel Katagiri kemudian bertukar pikiran dengan anggota pasukan Peta dengan lemah lembut dan penuh kesantunan sehingga Supriyadi dan Muradi melunak.
Kolonel Katagiri mengadakan kesepakatan bahwa pasukan Peta yang terlibat pemberontakan tidak akan dibawa ke pengadilan militer asalkan kembali ke asrama. Muradi segera melapor ke Daidanco Surachmad, dan tidak menyadari dengan strategi tersebut pasukan Jepang berhasil mengepung pasukan Peta dan melucuti senjatanya. Mereka kemudian ditawan dan diangkut ke markas Kempetai Blitar. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pemberontakan tersebut selanjutnya di bawa ke Mahkamah Militer Jepang di Jakarta, mereka dijatuhi hukuman sesuai dengan peran masing-masing.
(Sumber: historia.id)
Perlawanan tentara PETA di Cilacap. Perlawanan PETA Cilacap dipimpin oleh Budanco Kusaeri. Perlawanan direncanakan akan dimulai pada tanggal 21 April 1945 akan tetapi diketahui oleh Jepang. Sehingga pada tanggal 25 April 1945, Kusaeri dan teman-temannya ditangkap.

E.    Perlawanan di Kalimantan
Salah satu perlawanan rakyat Kalimantan terhadap Jepang dilakukan oleh suku Dayak yang dipimpin oleh Pang Suma pada 16 Oktober 1943. Pang Suma merupakan pemimpin suku Dayak yang memiliki pengaruh cukup besar dikalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau.

(Sumber : pustakamadani.com)
Perlawanan suku Dayak dilatarbelakangi oleh penindasan pemerintah Jepang. Seperti menjatuhkan hukuman jemur sampai pingsan terhadap orang yang melakukan kesalahan kecil. Orang-orang yang dicurigai ditangkap, bahkan ada yang dihukum di depan umum. Pang Suma juga tidak setuju dengan aksi rekrutmen mata-mata yang dilakukan Jepang terhadap penduduk lokal, agar Jepang mampu meminimalkan usaha perlawanan yang mungkin dilancarkan oleh rakyat Dayak.

(Sumber: netralnews.com)
Pang Suma dan pengikutnya melancarkan aksi perlawanan dengan taktik perang gerilya. Hal ini dilakukan untuk mengganggu aktivitas pemerintahan Jepang di Kalimantan. Meskipun demikian perlawanan Pang Suma dapat dipadamkan karena adanya mata-mata Jepang dari penduduk lokal. Penduduk lokal menginformasikan strategi pergerakan pasukan Pang Suma kepada Jepang.

F.    Perlawanan di Papua
Perlawanan rakyat Papua diawali oleh Gerakan Koreri yang muncul di Biak. Gerakan Koreri di Biak terjadi pada 1943 dan dipimpin oleh L. Rumkorem. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat dan penyiksaan oleh Jepang. Rakyat Biak memilih menggunakan strategi perang gerilya untuk melawan Jepang. Mereka mampu merepotkan Jepang yang tidak memiliki pengetahuan terhadap alam Papua.
Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang Biak dan memilih meninggalkan Biak. Oleh karena itu, Pulau Biak dikenal sebagai daerah pertama di Indonesia yang bebas dari pendudukan Jepang. Perlawanan rakyat Biak meluas ke berbagai daerah di Papua bagian selatan, salah satunya di wilayah Yapen Selatan.
Perlawanan di Yapen Selatan dipimpin oleh Nimrod. Dalam melawan Jepang, rakyat Yapen Selatan memperoleh bantuan persenjataan dari Sekutu. Dalam pertempuran tersebut, Jepang berhasil menangkap Nimrod dan menghukumnya dengan hukuman pancung. Namun perlawanan rakyat Yapen Selatan tidak berakhir begitu saja, hingga munculnya pemimpin baru di Yapen Selatan yaitu Silas Papare.

Sumber:
4.    Ringgo Rahata dkk. 2019. Sejarah untuk SMA/MA: Peminatan ilmu-ilmu sosial(Pegangan Guru). Yogyakarta, PT Intan Pariwara.
5.     Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017. Sejarah Indonesia Kelas XI Semester 2. (edisi Revisi). Jakarta

No comments:

Post a Comment