Friday, April 10, 2020

Pendudukan Jepang - Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya dan Pendidikan


1.    Kehidupan Ekonomi
Jepang berupaya menyerap segala potensi ekonomi yang terdapat di Indonesia untuk menangani perang. Tujuan kebijakan ekonomi Jepang pada masa pendudukannya adalah menyusun dan mengarahkan perekonomian Indonesia untuk menopang usaha perang Jepang serta membantu Jepang mewujudkan rencana Asia Timur Raya.
a.    Sistem Ekonomi Perang
Ekonomi perang adalah semua kekuatan ekonomi di Idnonesia di gali untuk menopang kegiatan perang. Jepang merencanakan penguasaan terhadap wilayah Asia Tenggara untuk mendapatkan dan menguasai sumber-sumber banah mentah sebagai penunjang industri perang. Sasaran utamanya antara lain adalah Korea dan Indonesia. Jepang juga memotong garis suplai  perbekalan musuh yang berasal dari wilayah Indonesia.
Pola ekonomi yang diterapkan Jepang memaksa wilayah-wilayah di Indonesia melaksanakan sistem autarki. Sistem autarki menghendaki setiap daerah mampu memenuhi kebutuhan sendiri serta memenuhi kebutuhan perang. Jepang membagi Pulau Sumatera menjadi 3 autarki, Pulau Jawa menjadi 17 autarki, dan minseifu (wilayah yang diperintah Angkatan Laut) dibagi menjadi 3 autarki.
Pelaksanaan sistem ekonomi perang di mulai tahun 1942 panglima Angkatan Darat ke-16 mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua perkebunan kopi, karet dan teh ditempatkan di bawah pengawasan langsung gunseiken. Jepang membentuk Saibi Kigyo Kanrikodan (SKK) untuk mengawasi perkebunan, pelaksana pembelian dan penentu harga penjualan hasil perkebunan.
(Sumber: blog.ruangguru.com)
Sistem ekonomi perang memperburuk kondisi ekonomi bangsa Indonesia. Tahun 1944 bangsa Indonesia kesulitan mendapatkan bahan pangan dan pakaian. Untuk mengatasi krisis pangan, pemerinthan pendudukan Jepang meminta bangsa Indonesia membuka lahan baru yang ditanami padi, jagung dan ketela. Hasil panen dari tanaman tersebut 30% wajib diserahkan kepada pemerintah Jepang melalui kumiai penggilingan padi. 40 % berhak digunakan petani, dan 30% digunakan untuk bibit penanaman yang dikumpulkan di lumbung desa.
Dalam bidang transportasi, Jepang merasakan kekurangan kapal. Jepang terpaksa mengadakan indutri kapal angkut dari kayu. Jepang juga membuka pabrik mesin, paku, kawat, dan baja pelapis granat, tetapi semua tidak berkembang karena kekurangan suku cadang.
b.    Sistem Eksploitasi Pertanian Pangan
Sistem ekonomi perang yang diterapkan Jepang di Indonesia memicu terjadinya krisis pangan. Di Jawa krisis pangan disebabkan oleh hasil panen rakyat yang digunakan untuk memasok kepentingan pasukan militer Jepang. Produksi padi di Jawa dieksploitasi habis-habisan oleh Jepang.
Salah satu cara yang ditempuh Jepang untuk meningkatkan produksi padi adalah memperkenalkan bibit baru. Jepang memperkenalkan inovasi teknik baru dalam menanam padi yaitu sistem larik. Sistem ini dipakai oleh petani sampai sekarang.
Rakyat di Kalimantan dan Sumatera memiliki sumber-sumber minyak untuk keperluan industri perang dan memaksa bekerja lebih keras. Rakyat tidak hanya dipaksa bekerja di tambang minyak, tetapi juga menggarap pertanian serta perkebunan yang menghasilkan bahan pangan untuk perang.
Bidang perkebunan pada masa Jepang mengalami kemunduran berkaitan dengan kebijakan Jepang yang memutuskan hubungan dengan Eropa (yang merupakan pusat perdagangan dunia). Karena tidak perlu memperdagangkan hasil perkebunan yang laku di pasaran, seperti tebu (gula), tembakau, teh, dan kopi, maka Jepang tidak lagi mengembangkan jenis tanaman tersebut. Tanah-tanah perkebunan diganti menjadi tanah pertanian yang sesuai dengan kebutuhan Jepang seperti padi dan jarak. Tanaman jarak dibutuhkan karena dapat digunakan sebagai minyak pelumas mesin-mesin termasuk mesin pesawat terbang. Tanaman kina masih dipertahankan sebagai bahan pembuat obat antimalaria. Penderesan getah karet di Sumatera mulai dihentikan, pabrik tekstil tutup karena pengadaan kapas dan benang begitu sulit.
Untuk menambah lahan pertanian, Jepang melakukan penebangan hutan secara liar dan berlebihan yang mengakibatkan hutan menjadi gundul sehingga timbul erosi dan banjir pada musim penghujan. Penebangan hutan secara liar juga berdampak pada berkurangnya sumber mata air.

Uang yang dikekuarkan oleh Jepang (Sumber: kompasiana.com)
Ekonomi uang yang pernah berkembang pada masa hindia belanda tidak lagi populer. Bank-bank yang pernah dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda dilikuidasi. Semua aset bank disita. Pada April 1942, diumumkan suatu banking moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Jepang mendirikan bank-bank setelah melikuidasi bank-bank peninggalan Belanda. Adapun bank-bank yang didirikan yaitu Mitsui Ginko, Taiwan Ginko, Yokohama Ginko, dan Kana Ginko. Sebagai bank sirkulasi, Javasche Bank dilikuidasi dan dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan jepang dalam mengedarkan invansion mobey yang di cetak di Jepang dalam tujuh denominasi dari mulai satu hingga sepuluh gulden. Uang Belanda kemudian digantikan oleh uang Jepang.

2.    Kehidupan Sosial
a.    Mobilisasi Massa
Jepang menaruh perhatian besar terhadap kaum muda pada umumnya dan golongan nasionalis sekuler serta nasionalis Islam pada khususnya. Kelompok pemuda adalah kelompok yang giat dan bersemangat dalam bekerja. Mereka dianggap kelompok penting untuk dimobilisasikan guna mencapai kemenangan dalam Perang Asia Timur Raya.
Mobilisasi massa dikerahkan untuk membuka lahan baru, terutama bekas perkebunan dan memanfaatkan tanah-tanah yang belum ditanami. Di Sumatera Timur, bekas daerah perkebunan tembakau ditanami padi. Di Kalimantan dan Sulawesi juga diwajibkan menanam padi. Rakyat diharuskan menebang tanaman kopi dan teh untuk digantikan tanaman pangan.
b.    Pengerahan Romusha
Romusa dalam bahasa Jepang berarti buruh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, buruh memiliki arti orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Dalam pelaksanaannya romusa diartikan sebagai pekerja paksa. Romusa merupakan salah satu kebijakan yang diterapkan Jepang dalam mengeksploitasi sumber daya manusia untuk mendukung keperluan perang.
Peraturan mengenai romusa dikeluarkan oleh Somubu (Departemen Urusan Umum). Somubu menetapkan romusa harus berusia 16 – 45 tahun. Somubu juga membentuk badan rekrutmen romusa.
                                 (Sumber: www.omucu.com)
Secara teoritis, peraturan yang dibuat badan rekrutmen romusa cukup baik dan tidak memberatkan romusa. Dalam sebuah peraturan dijelaskan bahwa orang atau badan yang memerlukan romusa harus mengajukan permohonan kepada kepala daerah setempat. Selain itu, mereka mengisi formulir mengenai nama romusa, tempat romusa dipekerjakan, jumlah yang diperlukan, dan lama waktu romusa dipekerjakan. Dalam praktiknya, peraturan tersebut tidak dijalankan.
Dalam menyukseskan kebijakan ini, Jepang melakukan propaganda terhadap masyarakat pribumi. Propaganda tersebut menyakinkan masyarakat pribumi bahwa kerja sebagai buruh di bawah pengawasan Jepang adalah perbuatan mulia dan para buruh tersebut dianggap sebagai pahlawan. Para buruh digambarkan sebagai orang-orang yang menunaikan tugas suci untuk memenangi Perang Asia Timur Raya. Apabila propaganda ini tidak berhasil menarik simpati masyarakat pribumi untuk ikut serta dalam romusa, pemerintah Jepang menggunakan jalan kekerasan.

3.    Kehidupan Budaya
a.    Penggunaan Bahasa Indonesia
Pada masa kolonial Belanda, bahasa Indonesia dilarang digunakan dalam berbagai aktivitas masyarakat. Pada 1942 bahasa Indonesia diperbolehkan untuk digunakan dalam berbagai aktivitas masyarakat. Bahkan, pada 1943 seluruh tulisan yang menggunakan bahasa Belanda dihapuskan dan diganti menggunakan bahasa Indonesia
Pada masa pendudukan Jepang, penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya digunakan sebagai bahasa pergaulan tetapi juga diterapkan pada instansi-instansi pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan mulai tingkat dasar sampai sekolah tinggi. Penggunaan bahasa Indonesia yang masif telah mendorong perkembangan budaya dan sastra Indonesia.
Perhatian Jepang terhadap bahasa Indonesia diperkuat dengan pembentukan Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia. Komisi ini dibentuk pada 20 Oktober 1943 oleh Kantor Pengajaran Jepang di Jawa. Komisi ini memiliki tugas menetapkan istilah modern dan menyusun tata bahasa sesuai ketentuan serta menetapkan kata-kata umum dalam bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia pada masa pendudukan Jepang tealh melahirkan beberaoa sastrawan besar. Sebagai contoh, Armijn Pane dengna karyanya berjudul Kami Perempuan pada 1943. Selain itu, karya-karya Armijn Pane antara lain Djinak-djinak Merpati, Hantu Perempuan pada 1944, dan Barang Berharga pada 1945. Pengarang-pengarang seperti El Hakim dan Chairil Anwar juga muncul pada masa pendudukan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang bahasa Indonesiadapat berkembang dengan pesat karena didukung oleh beberapa surat kabar. Surat kabar tersebut menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Surat-surat kabar tersebut antara lain Soeara Asia (Surabaya), Asia Raja (Jakarta), Tjahaja (Bandung), Sinar Baroe (Semarang), dan Sinar Matahari (Yogyakarta).
b.    Perkembangan Seni dan Budaya
Jepang mendirikan pusat kebudayaan yang diberi nama Keimin Bunka Shidosho pada 1 april 1943. Tujuan pembentukan pusat kebudayaan ini agar karya sastra berkembang selaras dengan tujuan Jepang untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Melalui pusat kebuadayaan tersebut, pemerintah Jepang memberikan batasan-batasan agar perkembangan seni dan budaya harus mampu menumbuhkan semangat perang.
Seni dan karya sastra yang berkembang pada kurun 1943-1945 pada umumnya mengandung nilai kepahlawanan untuk menumbuhkan semangat nasionalisme. Perkembangan karya sastra dan seni yang muncul pada masa pendudukan Jepang sebagai berikut :
1.         Karya sastra yang dilarang terbit karena tidak mendukung Jepang, antara lain Siap sedia karya Chairil Anwar, dan Sebuah Lagu dalam Sandiwara karya Cak Durasin.
2.         Karya sastra yang mendukung politik Jepang, antara lain Cinta Tanah Suci karya Sutan Iskandar, Angin Fuji karya Usmar Ismail, dan Palawija karya Karim Halim.
3.         Film dan sandiwara, antara lain Miss Tjitjih, Cahaya Timur, dan Bintang Surabaya.
4.         Seni drama Api dan Citra karya Usmar Ismail serta Taufan di Atas Asia dan Dewi Rini karya El Hakim.
5.         Seni musik, misalnya Tumpah Darahku dan Maju Putra Putri Indonesia ciptaan C. Simanjuntak.
Pada masa pendudukan Jepang juga bermunculan pengarang dan penyair. Beberapa pengarang dan penyair terkenal pada masa pendudukan Jepang antara lain Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Amal Hamzah, Nursyamsu dan Anas Ma’ruf.
Jepang tidak hanya menghapus budaya Belanda dan memberikan akses penggunaan bahasa Indonesia, tetapi mereka juga berupaya memasukkan budaya Jepang ke Indonesia.

4.    Kehidupan Pendidikan
a.    Kebijakan Jepang dalam Bidang Pendidikan
Pendidikan di Indonesia pada zaman Jepang mengalami penurunan signifikan daripada pendidikan masa kolonial Belanda. Penurunan tersebut dapat dilihat dari jumlah sekolah dasar, sekolah lanjutan dan pendidikan tinggi. Penurunan kualitas pendidikan Indonesia berdampak pada meningkatnya angka buta huruf.
Pendidikan pada masa pendudukan Jepang didasarkan pada prinsip utama. Prinsip tersebut sebagai berikut :
1.         Pendidikan diselenggarakan untuk semua etnik dan kelas sosial. Pendidikan diletakkan atas dasar persamaan dan keseragaman.
2.         Sistem pengajaran diberikan dengan doktrin “Kemakmuran bersama Asia Timur Raya”.
3.         Menghapus secara sistematis pengaruh Belanda dari sekolah-sekolah dan menjadikan unsur Indonesia sebagai landasan utama.
Meskipun pendudukan Jepang di Indonesia berlangsung singkat, banyak perubahan penting dalam kebijakan pendidikan di Indonesia. Perubahan tersebut sebagai berikut :
1.         Nama-nama sekolah yang berbahasa Belanda diubah menjadi bahasa Indonesia atau Jepang.
2.         Bahasa Indonesia menjadi pengantar wajib di setiap tingkat pendidikan. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai pengantar bertujuan menarik simpati rakyat dan mempermudah pengajaran di kelas.
3.         Pelaksanaan program kedisiplinan setiap hari berupa baris-berbaris model Jepang.
4.         Kepala sekolah yang sebelumnya dijabat oleh orang Belanda diganti guru bahasa Indonesia paling senior di sekolah tersebut.
b.    Sistem Pengajaran
Pad amasa awal kedatangannya, Jepang sempat membekukan dan menutup sekolah-sekolah Belanda serta swasta. Akan tetapi setelah melihat penurunan kualitas manusia Indonesia, Jepang membuka kembali sekolah-sekolah yang sebelumnya dibekukan. Sumber kemerosotan kualitas pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang adalah kurangnya jumlah guru. Pada waktu itu sistem pengajaran dan kurikulum ditujukan untuk keperluan Perang Asia Timur Raya. Pelaksanaan kurikulum pada awalnya melakukan indoktrinasi kepada guru-guru mengenai paham Hakko Ichiu.
Pemerintah pendudukan Jepang membuka berbagai tingkat sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pada masa pendudukan Jepang juga dibuka sekolah kejuruan sesuai minat dan bakat murid.

Status sosial yang sebelumnya dijadikan alat pemisah dalam pendidikan, pada masa pendudukan tidak lagi berlaku. Antara golongan priyai dan golongan masyarakat biasa disamakan. Jenis-jenis sekolah pada masa pendudukan Jepang sebagai berikut :
1.    Sekolah Umum
a.    Sekolah Rakyat enam tahun (Kokumin Gakko)
b.    Sekolah Menengah Pertama tiga tahun (Shoto Chu Gakko)
c.    Sekolah Menengah Tinggi tiga tahun (Chu Gakko)
2.    Sekolah Guru
a.    Sekolah guru Shoto Shihan Gakko selama dua tahun
b.    Sekolah guru Cuto Shihan Gakko selama empat tahun
c.    Sekolah guru Koto Shihan Gakko selama enam tahun
3.    Sekolah Perguruan Tinggi
a.    Sekolah tinggi kedokteran (Ika Dai Gakko)
b.    Sekolah tinggi pamong praja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta
c.    Sekolah tinggi teknik (Kagyo Dai Gakko) di Bandung
4.    Sekolah Kejuruan
a.    Sekolah pertukangan (Kogyo Gakko)
b.   Sekolah teknik menengah (Kogyo Sermon Gakko)
c.   Sekolah pertanian menengah (Nogyo Gakko)
d.   Sekolah guru (Syoto Sihan Gakko)
Bahasa Indonesia menjadi ciri khas pengajaran pada masa pendudukan Jepang. Selain bahasa Indonesia, pengajaran dengan pendekatan militer menjadi ciri khas pada masa pendudukan Jepang. Kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa pada masa pendudukan Jepang sebagai berikut :
1.    Upacara bendera setiap hari senin
2.    Belajar bahasa Indonesia dan Jepang
3.    Memberi hormat ke arah matahari terbit dengan membungkukkan badan seperti posisi rukuk dalam salat (Seikeirei). Penghormatan ini dilakukan setiap pertemuan umum dan setiap nama Tenno Haika (Kaisar Jepang) disebut
4.    Menghormati adat kebiasaan Jepang
5.    Latihan kemiliteran untuk mendidik para siswa supaya memiliki semangat seperti tentara Jepang (Nippon Seisyin)
6.    Kerja bakti (Kinrohosyi) untuk mengumpulkan bahan-bahan yang berguna untuk perang, menanam ubi, menanam jarak, dan memperbaiki jalan
7.    Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo
8.    Melakukan gerak badan (Taiso)
Meskipun beberapa kebijakan pendidikan Jepang dinilai merugikan rakyat Indonesia, terdapat beberapa keuntungan yang dapat diambil dari kebijakan tersebut. Bebrapa keuntungan tersebut sebagai berikut :
1.    Bahasa Indonesia tersosialisasi dengan baik ke seluruh Indonesia
2. Diskriminasi pendidikan dihapuskan. Pada masa pendudukan Jepang seluruh rakyat Indonesia dari berbagai lapisan sosial berkesempatan mendapatkan pendidikan di sekolah
3. Bangsa Indonesia dilatih dan dididik untuk memegang jabatan pimpinan meskipun diawasi secara ketat oleh militer Jepang
4. Sekolah-sekolah dialihstatuskan menjadi sekolah negeri, termasuk sekolah yang didirikan dan dimiliki perorangan seperti sekolah Muhammadiyah, sekolah Taman Siswa, dan sekolah zending
5. Pemerintah Jepang memberikan pelatihan beladiri bagi pelajar. Pelatihan ini berguna ketika perang kemerdekaan
6.    Buku-buku berbahasa asing diterjemahkan dalam bahasa Indonesia karena pada masa perang hak cipta internasional diabaikan
Pada masa pendudukan Jepang pendidikan berbasis agama yang berpusat pada pesantren masih diizinkan melakukan kegiatan belajar. Pesantren dan sekolah-sekolah Islam mengajarkan mata pelajaran Alquran, ibadah, akhlak dan keimanan. Dibandingkan dengan sekolah negeri, pesantren tidak diawasi secara ketat. Beberapa kegiatan seperti taiso, kinrohisyi, dan seikeirei juga tidak wajib dilakukan. Oleh karena itu banyak kiai mendirikan pesantren. Beberapa hasil kebijakan Jepang masih berlangsung sampai saat ini seperti upacara bendera, kerja bakti, dan sistem RT/RW.


Sumber:
1.  Ringgo Rahata dkk. 2019. Sejarah untuk SMA/MA: Peminatan ilmu-ilmu sosial(Pegangan Guru). Yogyakarta, PT Intan Pariwara.
2. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017. Sejarah Indonesia Kelas XI Semester 2. (edisi Revisi). Jakarta

No comments:

Post a Comment