AKAR-AKAR DEMOKRASI DI INDONESIA
Demokrasi
secara terminologi atau istilah adalah suatu sistem pemerintahan negara, di
mana kekuasaan tertinggi ada pada tangan rakyat. Kalau secara etimologi atau
bahasa, demokrasi itu berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang artinya
rakyat dan kratos yang
artinya pemerintahan.
Demokrasi
ini juga termasuk sebagai konsep kehidupan bernegara atau bermasyarakat.
Pemerintahan di negara demokrasi itu wajib mendorong dan menjamin kemerdekaan
berbicara, bernegara, berpendapat, menghormati hak-hak kelompok minoritas,
berserikat, dan warga negara memberi peluang yang sama untuk mendapatkan
kehidupan yang layak. alam penerapannya, sistem demokrasi di Indonesia berjalan
sangat dinamis atau berubah-ubah. Mulai dari pada masa pergerakan nasional,
proklamasi, kepemimpinan Soekarno, kepemimpinan Soeharto, sampai era reformasi.
A.
Volksraad
Volksraad dibentuk
pemerintah Belanda pada 16 Desember 1916. Wacana pembentukan volksraad sudah
berkembang sejak tahun 1915 berkaitan dengan adanya gerakan Indie Werbaar
(Pertahanan Sipil Hindia). Volksraad melakukan sidang pertama pada 18 Mei 1918.
Sidang pertama dibuka langsung oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum.
Anggota Volksraad terdiri
atas orang Belanda, orang Timur Asing dan orang-orang pribumi. Awal
pembentukan, Volksraad beranggotakan 38 orang. Volksraad dipimpin oleh seorang
ketua dewan.
Pada awal Volksraad hanya
bertugas sebagai penasehat pemerintah Belanda. Selanjutnya, sejak tahun 1927
Volksraad memiliki kewenangan legislatif bersama gubernur jenderal. Gubernur
jenderal memiliki hak veto yang menyebabkan kewenangan Volksraad menjadi
terbatas, pemilihan keanggotaan Volksraad dipilih melalui sistem pemilihan
tidak langsung. Usulan-usulan anggota volksraad
pihak pribumi sering ditolak. Lembaga ini tidak memiliki hak angket dan hak
menentukan anggran belanja seperti parlemen pada umumnya.
Pada
27 Januari 1930 anggota volksraad dari
golongan Nasionalis membetuk Fraksi Nasional yang merupakan ide dari Muhammad
Husni Tamrin.
Tujuan pembentukan adalah menjamin kemerdekaan
nasional dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan cara sebagai berikut:
1. Mengusahakan
perubahan-perubahan ketatanegaraan
2. Mengusahakan
penghapusan perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual sebagai
antitesis kolonial
3. Mengusahakan
kedua hal tersebut dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum .
Kegiatan
pertama fraksi Nasional adalah melakukan pembelaan terhadap para pemimpin PNI
yang ditangkap. Fraksi Nasional juga memperhatikan kondisi pendidikan di
indonesia dengan menuntut pemerintah Belanda agar mencabut peraturan sekolah
liar (wilde schoolen ordonantie) karena
dapat menghambat kemajuan pendidikan penduduk pribumi. Beberapa tindakan dalam
Fraksi Nasional dalam volksraad menunjukkan uoaya para wakil rakyat untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat. Oleh karena itu volksraad dianggap sebagai
salah satu akar demokrasi Indonesia.
B.
Petisi
Soetardjo
Petisi soetardjo diajukan
oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo, Ketua Persatoean Pegawai Bestuur Bumipoetera
(PPBB), kepada pemerintah kolonial Belanda pada 15 Juli 1936. Soetardjo
mencetuskan gagasan ini berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaaan Belanda
yang berbunyi “Kerajaan Nedherland(Belanda) meliputi Nederland, Hindia Belanda,
Suriname, dan Curasao”. Soetardjo berpendapat keempat wilayah tersebut memiliki
derajat yang sama. Oleh karena itu Soetardjo mengajukan permohonan agar
diselenggarakan musyawarah untuk mempertemukan wakil bangsa Idnonesia dan
Belanda yang setiap anggotanya mempunyai hak yang sama.
Pengajuan Petisi Soetardjo
ini dilakukan karena semakin meningkat rasa ketidak puasan di kalangan rakyat
terhadap kebijakan politik yang dterapkan oleh Gubernur Jenderal de Jonge.
Hubungan antara Indonesia dengan Kerajaan Belanda harus diperbaiki bukan
diperkeruh dengan kebijakan-kebijakan yang mengekang kehidupan rakyat
Indonesia.
Usulan Soetardjo mendapat
dukungan dari Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Alatas, I.J Kasimo, dan Ko Kwat
Tiong. Petisi ini kemudian dibahas dalam sidang Volksraad pada 17 September
1936. Dalam sidang terjadi perbedaan pendapat sehingga memunculkan tiga
kelompok besar yaitu:
1. Kelompok van
Helsdingen-Notosoeroto, yang terdiri atas
wakil-wakil dari Christelike Staadspartij
(CSP), Vaderlandsce Club, Ondernemersgroep, dan Indische Katholieke Party. Kelompok ini menolak Petisi Soetardjo
karena menganggap rakyat Indonesia belum mampu menyelenggarakan pemerintahan
sendiri.
2. Kelompok Soekarjo
Wirjopranoto, yang terdiri atas anggota Fraksi Nasional,
PSII, dan Parindra dengan tegas menolak karena dianggap tidak ada gunanya.
Sukardjo berpendapat bahwa petisi tersebut dapat melemahkan, bahkan mematikan
cita-cita kemerdekaan Indonesia. Bahkan Sukardjo menuduh Soetardjo menjalankan opportunestische politiek
3. Kelompok Suroso,
yang terdiri atas sebagian anggota Fraksi Nasional, Politiek-Economische Bond(PEB), dan Indo-Europeesch Verbond(IEV). Kelompok ini berpendapat bahwa bangsa
Indonesia sudah cukup mayang dan sudah sepantasnya pemerintah kolonial Belanda
memberikan hak kepada bangsa Indonesia.
Pada
tanggal 29 September 1936, volksraad mengadakan pemungutan suara mengenai
Petisi Soetardjo. Kemudian dikirimkan kepada Ratu Belanda, Staaten Generaal,
dan Menteri Urusan Negara Jajahan.
Berdasarkan
Keputusan Kerajaan Belanda Nomor 40 tanggal 16 November 1938, Ratu Belanda
menolak Petisi Soetardjo yang diajukan atas nama volksraad. Penolakan tersebut
dengan alasan “bangsa
Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab pemerintah diri sendiri”.
C.
Gabungan
Politik Indonesia (GAPI)
Berbagai partai
politik yang di pelopori oleh Sutardjo Kartohadikusumo pada tanggal tanggal 15
Juli 1936 melakukan usulan atau petisi, yakni permohonan agar di lakukannya
suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negara belanda yang mana para
anggotanya memiliki hak yang sama.
Dilakukan musyawarah
bertujuan untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu
pemerintah yang berdiri sendiri. Akan tetapi, usulan tersebut ditolak oleh
pemerintah Belanda. Sebagai bentuk kekecewaan
terhadap pemerintah Belanda, Moh.
Husni Thamrin pada tanggal 21 Mei 1939, membentuk Gabungan Politik Indonesia (Gapi).
Ada beberapa alasan yang menjadikan
terbentuknya GAPI. diantaranya adalah :
- Kegagalan
petisi Sutarjo. isi dari petisi tersebut adalah permohonan agar di lakukannya
musyawarah antara berbagai wakil Indonesia dan Belanda. bertujuan agar
bangsa Indonesia diberi pemerintahan yang berdiri sendiri
- Kepentingan internasional
akibatnya timbul fasisme.
- Sikap pemerintah yang kurang
memperhatikan kepentingan bangsa Indonesia.
Tujuan terbentuknya
GAPI adalah untuk menuntut pemerintah belanda agar Indonesia memiliki parlemen
sendiri, sehingga GAPI memiliki semboyan Indonesia Berparlemen. Maksud tuntutan tersebut adalah
dibentuknya suadu dewan perwakilan rakyat yang berlandaskan sendi-sendi
demokrasi. GAPI menyerukan agar perjuangannya didukung oleh semua lapisan
masyarakat.
Konferensi
pertama GAPI membahas kepengurusan antaralain Muhammad Husni Thamrin, Amir
Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujoso. Pengurus menyusun anggaran
dasar yang berdasarkan pada beberapa faktor yaitu hak untuk menentukan nasib
sendri, persatuan nasional dari seluruh bangsa indonesia dengan berdasarkan
kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, dan sosial, serta persatuan aksi
seluruh pergerakan nasional.
Pada 25
Desember 1939, GAPI menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia pertama di
Jakarta dengan menetapkan:
a.
Kongres Rakyat Indonesia menjadi badan tetap
b.
Aksi “Indonesia Berparlemen” dilanjutkan melalui
panitia-panitia setempat yang telah dibentuk diseluruh daerah dibawah pimpinan
GAPI
c.
Menetapkan bendera merah putih dan lagu
‘Indonesia Raya’ sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia serta peningkatan
penggunaan bahasa Indonesia bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tuntutan Indonesia Berparlemen diperjuangkan terus
menerus dengan gigih. Sehingga pada akhirnya pemerintah Belanda membentuk
komisi yang dikenal dengan nama Komisi Visman yang diketuai oleh Dr.
F.H.Visman.
Tugas dari Komisi Visman ini ialah
menyelidiki serta mempelajari berbagai perubahan ketatanegaraan. Akan tetapi,
setelah melakukan penelitian, komisi Visman tersebut menyampaikan kesimpulan
yang mengecewakan Indonesia.
Seperti yang dikatakan Komisi tersebut,
sebagian besar rakyat Indonesia ingin hidup dalam ikatan kerajaan belanda. GAPI
menolak keputusan tersebut, karena dianggap sebagai rekayasa Belanda dan sangat
bertentangan dengan keinginan rakyat Indonesia.
Sumber:
1. Ringgo
Rahata dkk. 2019. Sejarah untuk SMA/MA: Peminatan ilmu-ilmu sosial(Pegangan
Guru). Yogyakarta, PT Intan Pariwara.
No comments:
Post a Comment