Friday, April 3, 2020

Akar-Akar Demokrasi Indonesia


AKAR-AKAR DEMOKRASI DI INDONESIA
Demokrasi secara terminologi atau istilah adalah suatu sistem pemerintahan negara, di mana kekuasaan tertinggi ada pada tangan rakyat. Kalau secara etimologi atau bahasa, demokrasi itu berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya pemerintahan.
Demokrasi ini juga termasuk sebagai konsep kehidupan bernegara atau bermasyarakat. Pemerintahan di negara demokrasi itu wajib mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, bernegara, berpendapat, menghormati hak-hak kelompok minoritas, berserikat, dan warga negara memberi peluang yang sama untuk mendapatkan kehidupan yang layak. alam penerapannya, sistem demokrasi di Indonesia berjalan sangat dinamis atau berubah-ubah. Mulai dari pada masa pergerakan nasional, proklamasi, kepemimpinan Soekarno, kepemimpinan Soeharto, sampai era reformasi.



A.   Volksraad
Volksraad dibentuk pemerintah Belanda pada 16 Desember 1916. Wacana pembentukan volksraad sudah berkembang sejak tahun 1915 berkaitan dengan adanya gerakan Indie Werbaar (Pertahanan Sipil Hindia). Volksraad melakukan sidang pertama pada 18 Mei 1918. Sidang pertama dibuka langsung oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum.
Anggota Volksraad terdiri atas orang Belanda, orang Timur Asing dan orang-orang pribumi. Awal pembentukan, Volksraad beranggotakan 38 orang. Volksraad dipimpin oleh seorang ketua dewan.
Pada awal Volksraad hanya bertugas sebagai penasehat pemerintah Belanda. Selanjutnya, sejak tahun 1927 Volksraad memiliki kewenangan legislatif bersama gubernur jenderal. Gubernur jenderal memiliki hak veto yang menyebabkan kewenangan Volksraad menjadi terbatas, pemilihan keanggotaan Volksraad dipilih melalui sistem pemilihan tidak langsung. Usulan-usulan anggota volksraad pihak pribumi sering ditolak. Lembaga ini tidak memiliki hak angket dan hak menentukan anggran belanja seperti parlemen pada umumnya.
Pada 27 Januari 1930 anggota volksraad dari golongan Nasionalis membetuk Fraksi Nasional yang merupakan ide dari Muhammad Husni Tamrin.
Tujuan pembentukan adalah menjamin kemerdekaan nasional dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan cara sebagai berikut:
1.    Mengusahakan perubahan-perubahan ketatanegaraan
2.    Mengusahakan penghapusan perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual sebagai antitesis kolonial
3.    Mengusahakan kedua hal tersebut dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum .
Kegiatan pertama fraksi Nasional adalah melakukan pembelaan terhadap para pemimpin PNI yang ditangkap. Fraksi Nasional juga memperhatikan kondisi pendidikan di indonesia dengan menuntut pemerintah Belanda agar mencabut peraturan sekolah liar (wilde schoolen ordonantie) karena dapat menghambat kemajuan pendidikan penduduk pribumi. Beberapa tindakan dalam Fraksi Nasional dalam volksraad menunjukkan uoaya para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Oleh karena itu volksraad dianggap sebagai salah satu akar demokrasi Indonesia.

B.   Petisi Soetardjo
Petisi soetardjo diajukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo, Ketua Persatoean Pegawai Bestuur Bumipoetera (PPBB), kepada pemerintah kolonial Belanda pada 15 Juli 1936. Soetardjo mencetuskan gagasan ini berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaaan Belanda yang berbunyi “Kerajaan Nedherland(Belanda) meliputi Nederland, Hindia Belanda, Suriname, dan Curasao”. Soetardjo berpendapat keempat wilayah tersebut memiliki derajat yang sama. Oleh karena itu Soetardjo mengajukan permohonan agar diselenggarakan musyawarah untuk mempertemukan wakil bangsa Idnonesia dan Belanda yang setiap anggotanya mempunyai hak yang sama.
Pengajuan Petisi Soetardjo ini dilakukan karena semakin meningkat rasa ketidak puasan di kalangan rakyat terhadap kebijakan politik yang dterapkan oleh Gubernur Jenderal de Jonge. Hubungan antara Indonesia dengan Kerajaan Belanda harus diperbaiki bukan diperkeruh dengan kebijakan-kebijakan yang mengekang kehidupan rakyat Indonesia.
Usulan Soetardjo mendapat dukungan dari Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Alatas, I.J Kasimo, dan Ko Kwat Tiong. Petisi ini kemudian dibahas dalam sidang Volksraad pada 17 September 1936. Dalam sidang terjadi perbedaan pendapat sehingga memunculkan tiga kelompok besar yaitu:
1.    Kelompok van Helsdingen-Notosoeroto, yang terdiri atas wakil-wakil dari Christelike Staadspartij (CSP), Vaderlandsce Club, Ondernemersgroep, dan Indische Katholieke Party. Kelompok ini menolak Petisi Soetardjo karena menganggap rakyat Indonesia belum mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri.
2.    Kelompok Soekarjo Wirjopranoto, yang terdiri atas anggota Fraksi Nasional, PSII, dan Parindra dengan tegas menolak karena dianggap tidak ada gunanya. Sukardjo berpendapat bahwa petisi tersebut dapat melemahkan, bahkan mematikan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Bahkan Sukardjo menuduh Soetardjo menjalankan opportunestische politiek
3.    Kelompok Suroso, yang terdiri atas sebagian anggota Fraksi Nasional, Politiek-Economische Bond(PEB), dan Indo-Europeesch Verbond(IEV). Kelompok ini berpendapat bahwa bangsa Indonesia sudah cukup mayang dan sudah sepantasnya pemerintah kolonial Belanda memberikan hak kepada bangsa Indonesia.
Pada tanggal 29 September 1936, volksraad mengadakan pemungutan suara mengenai Petisi Soetardjo. Kemudian dikirimkan kepada Ratu Belanda, Staaten Generaal, dan Menteri Urusan Negara Jajahan.
Berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda Nomor 40 tanggal 16 November 1938, Ratu Belanda menolak Petisi Soetardjo yang diajukan atas nama volksraad. Penolakan tersebut dengan alasan “bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab pemerintah diri sendiri”.

C.   Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Berbagai partai politik yang di pelopori oleh Sutardjo Kartohadikusumo pada tanggal tanggal 15 Juli 1936 melakukan usulan atau petisi, yakni permohonan agar di lakukannya suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negara belanda yang mana para anggotanya memiliki hak yang sama.
Dilakukan musyawarah bertujuan untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintah yang berdiri sendiri. Akan tetapi, usulan tersebut ditolak oleh pemerintah Belanda. Sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah Belanda, Moh. Husni Thamrin pada tanggal 21 Mei 1939, membentuk  Gabungan Politik Indonesia (Gapi).
Ada beberapa alasan yang menjadikan terbentuknya GAPI. diantaranya adalah :
  1. Kegagalan petisi Sutarjo. isi dari petisi tersebut adalah permohonan agar di lakukannya musyawarah antara berbagai wakil Indonesia dan Belanda. bertujuan agar bangsa Indonesia diberi pemerintahan yang berdiri sendiri
  2. Kepentingan internasional akibatnya timbul fasisme.
  3. Sikap pemerintah yang kurang memperhatikan kepentingan bangsa Indonesia.
Tujuan terbentuknya GAPI adalah untuk menuntut pemerintah belanda agar Indonesia memiliki parlemen sendiri, sehingga GAPI memiliki semboyan Indonesia Berparlemen. Maksud tuntutan tersebut adalah dibentuknya suadu dewan perwakilan rakyat yang berlandaskan sendi-sendi demokrasi. GAPI menyerukan agar perjuangannya didukung oleh semua lapisan masyarakat.
Konferensi pertama GAPI membahas kepengurusan antaralain Muhammad Husni Thamrin, Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujoso. Pengurus menyusun anggaran dasar yang berdasarkan pada beberapa faktor yaitu hak untuk menentukan nasib sendri, persatuan nasional dari seluruh bangsa indonesia dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi, dan sosial, serta persatuan aksi seluruh pergerakan nasional.
Pada 25 Desember 1939, GAPI menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia pertama di Jakarta dengan menetapkan:
a.    Kongres Rakyat Indonesia menjadi badan tetap
b.    Aksi “Indonesia Berparlemen” dilanjutkan melalui panitia-panitia setempat yang telah dibentuk diseluruh daerah dibawah pimpinan GAPI
c.    Menetapkan bendera merah putih dan lagu ‘Indonesia Raya’ sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia serta peningkatan penggunaan bahasa Indonesia bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tuntutan Indonesia Berparlemen diperjuangkan terus menerus dengan gigih. Sehingga pada akhirnya pemerintah Belanda membentuk komisi yang dikenal dengan nama Komisi Visman yang diketuai oleh Dr. F.H.Visman.
Tugas dari Komisi Visman ini ialah menyelidiki serta mempelajari berbagai perubahan ketatanegaraan. Akan tetapi, setelah melakukan penelitian, komisi Visman tersebut menyampaikan kesimpulan yang mengecewakan Indonesia.
Seperti yang dikatakan Komisi tersebut, sebagian besar rakyat Indonesia ingin hidup dalam ikatan kerajaan belanda. GAPI menolak keputusan tersebut, karena dianggap sebagai rekayasa Belanda dan sangat bertentangan dengan keinginan rakyat Indonesia.

Sumber:
1.    Ringgo Rahata dkk. 2019. Sejarah untuk SMA/MA: Peminatan ilmu-ilmu sosial(Pegangan Guru). Yogyakarta, PT Intan Pariwara.

No comments:

Post a Comment