A. Perjuangan
menghadapi Agresi
1) Agresi
Militer Belanda
Belanda memiliki tafsir berbeda mengenai status kemerdekaan
RI dalam perundingan Linggajati. Oleh karena itu, Belanda menilai perlu
melakukan agresi militer yang dimulai pada 21 Juli 1947.
a) Agresi
Militer Belanda I
Agresi
Militer Belanda I dimulai pada 20 Juli 1947. Dalam agresi militer ini, Belanda
menggunakan kode Operatie Product. Dengan kode operasi tersebut, Belanda
berhasil menerobos daerah-daerah yang dikuasai Republik Indonesia seperti
Sumatra, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tujuan Belanda menyerang daerah-daerah
tersebut adalah merebut daerah-daerah perkebunan dan sumber daya alam, terutama
minyak. Di Sumatera Timur Belanda berhasil
merebut perkebunan tembakau. Di Jawa Tengah, belanda menguasai seluruh wilayah
pantai utara. Di Jawa Timur, Belanda merebut perkebunan tebu dan pabrik gula.
Dalam agresi
militer I Belanda mengerahkan Korps Speciaale Troepen (KST) dibawah
pimpinan Westerling dan Pasukan Para I (le para compagnie) di bawah
pimpinan Kapten C Sisselaar. Belanda melakukan serangan secar amasif dengan
teknologi perang terbaik untuk menggempur kekuatan TNI. Pasukan TNI membalas
serangan Belanda dengan menggunakan strategi baru yang disebut wehrkreise yang
dijalankan dengan membentuk kantong-kantong perlawanan di daerah kekuasaan Belanda.
Strategi ini terbukti efektif dan menyulitkan posisi Belanda.
Dalam perkembangannya, agresi militer yang dlancarkan Belanda mendapatkan kecaman dunia internasional. India dan Australia menyarankan agar konflik Indonesia-Belanda di bicarakan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Tindak lanjut dari agresi militer ini dilanjutkan melalui perundingan Renville.
b) Agresi
Militer Belanda II
Pasca perundingan
Renville, Belanda Kembali menggempur Indonesia melalui aksi militer pada 19
Desember 1948. Serangan ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Aksi ini
dimulai dengan penerjunan tentara-tentara Belanda di lapangan terbang Maguwo
(sekarang Lanud Adisucipto), Yogyakarta. Serangan ini begitu cepat dan
mengakibatkan Yogyakarta jatuh ketangan Belanda. Belanda juga berhasil
menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta, dan beberapa Menteri. Para
pejabat negara diasingkan ke Pulau Bangka. Keberhasilan Belanda menangkap para
pemimpin Republik Indonesia diyakini belanda bahwa Republik Indonesia telah
hancur.
Menghadapi agresi
ini, Jenderal Sudirman merencanakan konsep Pertahanan Rakyat Semesta. Dengan penerapan
tersebut, pertahanan RI tidak hanya menjadi tanggung jawab TNI tetapi juga segenap
rakyat Indonesia. Di berbagai daerah rakyat membentuk laskar-laskar perjuangan.
Agresi militer
Belanda II kembali memancing kecaman
dunia. Dewan Keamanan PBB menyerukan kepada Belanda agar Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Moh Hatta segera dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta. Selain
itu, Amerika Serikat menggertak akan menghentikan bantuan ekonomi kepada
Belanda apabila agresi militer tersebut tidak segera diakhiri.
2) Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Pada masa Agresi
Militer Belanda II ibu kota RI di Yogyakarta dikuasai oleh Belanda dan presiden
serta jajarannya diasingkan ke Pulau Bangka. Sebelum diasingkan, Presiden
Soekarno sempat memberikan instruksi kepada Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Presiden Soekarno
juga melayangkan instruksi serupa kepada Mr AA Maramis dan Dr Sudarsono yang
sedang berada di New Delhi, India jika Sjafruddin Prawiranegara tidak berhasil
menjalankan tugasnya.
Pada 19
Desember 1948 PDRI resmi dibentuk sebagai mandataris kekuasaan pemerintah
Republik Indonesia. Adapun susunan cabinet PDRI per 31 Maret 1949 adalah:
No |
Nama Anggota Kabinet |
Jabatan |
1 |
Sjafruddin Prawiranegara |
Ketua (Perdana Mentri),
merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan |
2 |
Soesanto Tirtoprodjo |
Wakil ketua, merangkap Menteri
Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda |
3 |
AA Maramis |
Menteri Luar Negeri |
4 |
Dr Sukirman |
Menteri Dalam Negeri |
5 |
Lukman Hakim |
Menteri Keuangan |
6 |
I J Kasimo |
Menteri Kemakmuran, pengawas
makanan rakyat (PMR) |
7 |
K H Masykur |
Menteri Agama |
8 |
T Moh Hasan |
Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan |
9 |
Ir Indratjahtja |
Menteri Perhubungan |
10 |
Ir Mananti Sitompul |
Menteri Pekerjaan Umum |
11 |
S M Rasjid |
Menteri Perburuhan dan Sosial |
12 |
Letjen Soedirman |
Panglima besar APRI
(Angkatan Perang RI) |
13 |
Kolonel Hidayat |
Panglima tentara dan Teritorial
Sumatra (PTTS) |
14 |
Kolonel Nasution |
Panglima tentara dan Teritorial
Djawa (PTTD) |
Dalam perkembangannya,
Sjafruddin Prawiranegara mengirim radiogram mengenai eksistensi RI kepada
Pandit Jawaharlal Nehru selaku ketua Konferensi Asia melalui Radio Rimba Raya
yang berada di Aceh Tengah pada 23 Januari 1949. Pembentukan PDRI menunjukkan
RI masih ada dan belum menyerah. PDRI menjadi pengatur serta penyalur
komunikasi Republik Indonesia dengan daerah-daerah dan negara-negara sahabat.
PDRI
berjalan dengan lancar. Setelah presiden beserta jajarannya dibebaskan,
sjafruddin Prawiranegara mengembalikan mandate kepada Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Moh Hatta sebagai pemimpin pemerintah RI.
3) Perjuangan Gerilya
Tertangkapnya
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta pada Agresi Militer Belanda II
tidak melemahkan semangat para pejuang RI. Jenderal Sudirman tengah sakit parah
saat memimpin perjuangan gerilya. Meskipun demikian, sang jenderal berjanji
akan menegakkan panji-panji NKRI.
4) Serangan
Umum 1 Maret 1949
Gempuran Belanda
terhadap pasukan Indonesia mendorong TNI melakukan aksi balasan terhadap
Belanda. Sebelum aksi balasan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono XI melakukan
koordinasi dengan Letkol Soeharto selaku komandan pasukan di wilayah Yogyakarta.
Berkat akses dan informasi yang diberikan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pasukan TNI di bawah komando Letkol Soeharto berhasil
menyelinap dan menyerang ke jantung kota Yogyakarta.
Dalam serangan
tersebut, pasukan TNI mendobrak barusan serdadu Belanda dari lima penjuru. Dari
sebelah utara, serangan dipimpin oleh Mayor Kusno, penjuru barat dipimpin oleh
Letkol Ventje Sumual, penjuru selatan dan timur dipimpin oleh Mayor Sarjono,
serta kota dipimpin oleh Letkol Amir. Serangan pasukan TNI berhasil menduduki
Kota Yogyakarta dalam waktu enam jam.
5) Peristiwa Yogya
Kembali
Yogya Kembali
merupakan peristiwa yang menandai pemulihan pemerintah RI di Yogyakarta
pascapendudukan Belanda dalam Agresi Militer II. Dalam peristiwa ini, para
pemimpin RI kembali ke Yogyakarta. Rombongan Soekarno dan Mohammad Hatta
beserta Sjafruddin Prawiranegara yang tergabung dalam kelompok PDRI tiba di
Yogyakarta pada 10 Juli 1949. Selain dua rombongan tersebut, pasukan Jenderal
Sudirman yang telah bergerilya turut kembali ke Yogyakarta.
Kembalinya para
pemimpin bangsa ke Yogyakarta disambut dengan upacara pada 10 Juli 1949. Beberapa
hari kemudian, dilaksanakan sidang kabinet yang dipimpin oleh Moh Hatta. Dalam siding
tersebut, Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat sebagai pemimpin PDRI
kepada presiden Soekarno. Selain itu, Sjafruddin Prawiranegara melaporkan
berbagai Tindakan yang dianggap perlu untuk menjalankan PDRI selama delapan
bulan. Penyerahan kembali mandat tersebut menandai berakhirnya PDRI.
B. Penegakan Kedaulatan
NKRI
1) Pembentukan
Repuplik Indonesia Serikat
Pembentukan Republik
Indonesia Serilat (RIS) merupakan salah satu dampak kesepakatan KMB. Atas dasar
kesepakatan tersebut RI Bersama negara-negar bagian yang tergabung dalam BFO
membentuk RIS. Adapaun negara-negara yang tergabung dalam BFO yaitu:
·
Negara Pasundan(Jawa Barat),
·
Negara Jawa Timur,
·
Negara Madura,
·
Negara Sumatra Timur,
·
Negara Sumatra Selatan, dan
·
Negara Indonesia Timur.
Dalam struktur
pemerintahannya, RIS dipimpin oleh presiden yang dibantu oleh perdana menteri. Sementara
itu, Lembaga perwakilan rakyatnya terdiri atas senat dan DPR. Terbentuknya RIS
mendorong Soekarno memegang jabatan sebagai presiden RIS. Pengukuhan tersebut
dilakukan oada 17 Desember 1949. Dengan dilantiknya Soekarno sebagai presiden
RIS, RI yang merupakan bagian dari RIS mengalami kekosongan kepemimpinan. Akhirnya
Presiden Soekarno melantik Mr Assaat sebagai pejabat (acting) Presiden
RI pada 27 Desember 1949. Penyerahan wewenang tersebut dilakukan agar eksistensi
RI sebagai negara tetap bertahan apabila sewaktu-waktu RIS dibubarkan.
2) Penyerahan
Dan Pengakuan Kedaulatan
Penyerahan dan
pengakuan kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS dilakukan pada 27 Desember
1949. Peristiwa tersebut dilaksanakan di dua tempat yaitu Indonesia dan
Belanda. Di Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertugas sebagai delegasi
Indonesia, sedangkan pihak Belanda diwakili oleh A H S Lovink. Sementara itu,
di Belanda, perwakilan pihak Idnonesia dipimpin oleh Moh Hatta, sedangkan pihak
Belanda diwakili oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Willem Drees, dan Menteri
Seberang Lautan Sasseu.
Dalam pelaksaaan
pengakuan kedaulatan di Belanda, pihak Indonesia dan Belanda menandatangani
tiga dokumen pelengkap akta penyerahan kedaulatan. Tiga dokumen tersebut
sebagai beriut:
a) Dokumen protokol.
Dokumen tersebut berisi rencana yang dimunculkan dalam KMB. Dokumen ini ditandatangani
oleh Moh Hatta dan Willem Drees
b) Dokumen piagam
pengukuhan tertib hukum baru yang ditandatangani oleh Ratu Juliana dan sejumlah
Menteri Belanda. Dokumen ini mengukuhkan tertib hukum baru di Indonesia
c) Dokumen “Piagam
Penyerahan Kedaulatan dan Pengakuan” yang memuat beberapa pernyataan yaitu
penyerahan kedaulatan sesuai Piagam Penyerahan Kedaulatan dilaksanakan pada 27
Desember 1949; pembentukan Uni Indonesia-Belanda pada 27 Desember 1949; dan
pemberlakuan semua hasil tambahan dari KMB.
3) Kembali ke
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Pascapenyerahan
dan pengakuan kedaulatan RIS pada 27 Desember 1949, wacana untuk kemali kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) muncul. Kemunculan wacana tersebut
dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan negara-negara bagian yang tergabung dalam
BFO. Negara-negara BFO merasa belum merdeka sepenuhnya. Selain itu, pembentukan
negara federal dianggap sebagai upaya Belanda untuk mengawasi pergerakan
Republik Indonesia
Dalam konstitusi
RIS, penggabungan negara atau daerah dapat dilakukan apabila rakyat menghendaki.
Selain itu, penyerahan dan pengakuan kedaulatan RIS pada dasarnya tidak
bersyarat. Negara yang telah berdaulatn berhak mengatur atau mengubah undang-undang
dasar apabila diperlukan. Atas dasar tersebut, pemerintahan RIS melakukan upaya
untuk mengubah susunan ketatanegaraan. Upaya tersebut ditunjukkan melalui
penerbitan Undang-undang darurat Nomor 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan
Susunan Kenegaraan RIS. Penerbitan undang-undang tersebut disetujui oleh DPR
dan Senat RIS pada 8 Maret 1950.
Setelah Undang-Undang
Darurat Nomor 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan susunan Kenegaraan RIS
dikeluarkan, banyak negara bagian seperti
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura memilih bergabung degan Republik Indonesia
di Yogyakarta. Pada 22 April 1950 negara bagian RIS hanya terdiri atas Republik
Indonesia, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur. Untuk merundingkan
pembentukan NKRI, Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta menggelar pertemuan dengan
perwakilan dari negara Indonesia Timur yang diwakili Sukawati dan Negara Sumatra
Timur yang diwakili oleh Mansur. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan
untuk membentuk NKRI.
Dalam
perkembangannya, RIS bersama-sama negara-negara bagian, termasuk Negara
Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur menyelenggarakan konferensi. Melalui konferensi
tersebut, pada 19 Mei 1950 tercipta kesepakatan dalam bentuk Piagam Persetujuan
yang isinya sebagai berikut:
a) Kesepakatan membentuk
negara kesatuan sebagai perwujudan negar RI yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945
b) Menyempurnakan
Konstitusi RIS melalui pemasukan bagian-bagian yang dianggap penting dari
Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945
Melalui kesepakatan
tesebut, Rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) disusun. KNIP sebagai Lembaga yang
menyetujui rancangan UUD tersebut menjadi UUD Sementara pada 12 Agustus 1950. Selanjutnya,
pada 14 Agustus 1950 DPR dan Senat RIS mengesahkan UUD Sementara KNIP menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Sebagai pemantapan atas langkah-langkah
menuju NKRI, DPR dan Senat RIS menggelar rapat gabungan pada 15 Agustus 1950. Dalam
rapat tersebut, Presiden Soekarno membacakan Piagam Persetujuan pembentukan NKRI.
Pada hari yang sama Presiden Soekarno menuju Yogyakarta untuk menerima jabatan
Presiden NKRI. Akhirnya, pada 17 Agustus 1950 NKRI resmi terbentuk dan RIS
dibubarkan.
No comments:
Post a Comment