A.
Masa
Komisaris Jenderal
Berdasarkan hasil Konvensi London, kekuasaan
Belanda di Indonesia dipegang oleh komisaris jenderal. Pembentukan komisaris
jenderal dilakukan atas saran Pangeran Willem VI. Komisaris Jenderal terdiri
atas tiga orang, Cornelis Theodorus Elout, Alexander Gerard Phillip Baron van
der Capellen, dan Arnold Ardiaan Buyskes. Tugas pokok komisaris jenderal adalah
membangun daerah koloni untuk memberikan keuntungan bagi negeri Belanda. Dalam
menjalankan pemerintahan di Indonesia, komisaris jenderal berpedoman pada
undang-undang yang disusun oleh pangeran Willem VI, yaitu Regerings Reglement (RR)
Setibanya di Batavia pada 27 April 1816 ketiga
komisaris jenderal melakukan evaluasi kebijakan-kebijakan yang diterapkan pada
masa pemerintahan Raffles. Mereka bersepakat untuk mengarahkan program tanam
bebas dan pengenalan pajak bagi masyarakat di Pulau Jawa. Pelaksanaan kebijakan
tersebut diserahkan kepada Van der Capellen yang diangkat sebagai gubernur
Jenderal di Indonesia sejak 16 Januari 1819. Theodorus Elout dan Ardiaan
Buyskes ditarik ke Belanda.
Di bawah pemerintahan Baron van der Capellen terjadi gejolak social politik di Jawa. Kondisi tersebut terjadi karena perubahan aturan persewaan tanah yang dilakukan oleh van der Capellen pada 1823. Perubahan tersebut menyulut Perang Diponegoro tahun 1825 – 1830. Perang Diponegoro mengakibatkan pemerintah Belanda mengeluarkan biaya besar untuk Perang. Bahkan pemerintah Belanda harus menanggung banyak hutang.
B.
Sistem
Tanam Paksa
Pemerintah Belanda berusaha mencari solusi untuk
mengatasi deficit keuangan yang menimpa negerinya. Kemudian Johanndes van den
Bosch seorang golongan konservatif Belanda mencetuskan ide kebijakan Tanam
Paksa. Menurut van den Bosch, daerah koloni merupakan tempat yang tepat untuk
meraup keuntungan yang dapat digunakan untuk membangun negeri induknya. Dalam
perkembangannya, van den Bosch ditunjuk sebagai gubernur jenderal untuk
menjalankan kebijakan tanam paksa. Gubernur jenderal Johannes van den Bosch
memusatkan kebijakan tanam paksa pada peningkatan produksi tanaman yang laku di
pasar internasional.
Tujuan sistem tanam paksa adalah mendapatkan
komoditas-komoditas yang laku di pasar dunia. Untuk mendukung kelancaran sistem
ini, lahan yang dipakai adalah lahan milik orang-orang pribumi. Sementara itu,
tenaga kerja yang digunakan adalah orang-orang desa di Pulau Jawa yang dibujuk,
bahkan dipaksa oleh para penguasa lokal.
1. Ketentuan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa merupakan sistem penyerahan
wajib dan sistem pajak tanah. Sistem penyerahan wajin mengadopsi kebijakan
tanam wajib yang dijalankan pada masa kekuasaan VOC. Kebijakan dimaksud adalah
kewajiban rakyat PRiangan untuk menanam kopi (Preanger Stelsel). Dalam sistem ini rakyat Priangan diwajibkan
menanam kopi dan harus menyerahkan hasil kepada VOC sebagai ganti pembayaran
pajak.
Pelakasaan sistem tanam paksa menekankan pada
kewajiban rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk penyerahan hasil bumi (innatuna). Tanaman yang wajib ditanam
dan diserahkan rakyat kepada pemerintah yaitu kopi, tebu, temakau, the, dan
nila.
Sistem tanam paksa dilaksanakan berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Staatsblad
Nomor 22 Tahun 1834. Ketentuan tanam paksa sebagai berikut:
a)
Tanah diserahkan kepada pemerintah bebas
pajak
b)
Hasil tanaman wajib harus diserahkan
kepada pemerintah Belanda
c)
Pekerjaan menamam tidak boleh melebihi
waktu menanam padi
d)
Kegagal panden karena bencana alam
ditanggung oleh pemerintah Belanda
e)
Penggarapan tanah untuk tanaman wajib
diawasi oleh kepala pribumi atau pegawai Belanda
f)
Setiap petani menyediakan 1/5 dari luas
tanahnya untuk ditanami tanaman sesuai ketetapan Belanda
g)
Kewajiban menanam tanaman wajib dapat
digantu dengan penyerahan tenaga untuk bekerja di pabrik milik Belanda
2. Pelaksanaan Tanam Paksa
Dalam pelaksanaannya, sistem tanam paksa
mengalami banyak penyimpangan. Pemerintah Belanda juga memberikan cultuurprocenten (persenan) bagi
penguasa pribumi yang mampu menyetorkan hasil lebih banyak dari ketentuan.
Akibatnya, para penguasa pribumi berusaha meningkatkan setoran dengan melakukan
penekanan kepada petani dalam penyerahan hasil panen.
Sistem tanam paksa memberikan keuntungan
melimpah bagi pemerintah kolonial Belanda. Keuntungan sistem ini berhasil
mengatasi defisit keuangan yang terjadi di negeri Belanda. Keadaan ini terbukti
ketika pada 1832-1867 jumlah keuntungan yang diperoleh mencapai angka 967 juta
gulden.
Di sisi lain, sistem tanam paksa menyebabkan
penderitaan rakyat Indonesia karena berbagai penyimpangan. Penyimpangan sistem
tanam paksa antara lain:
1.
Pelaksanaan cultuurstelsel seharusnya sukarela, tetapi dilaksanakan dengan
cara-cara paksaan. Pemerintah kolonial memaksa rakyat melalui Bupati dan kepala
desa.
2.
Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari
seperlima. Bahkan sampai harus menyerahkan sepertiga hingga seluruh tanah desa
dengan alasan agar lebih mudah pengerjaan, pengairan, dan pengawasan oleh
pemerintah kolonial Belanda.
3.
Pengerjaan tanaman ekspor diprioritaskan dari
pada padi sehingga tanah pertanian rakyat justru tidak terurus.
4.
Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang
digunakan untuk proyek tanam paksa.
5.
Kelebihan hasil panen setelah diperhitungkan
dengan pajak tidak dikembalikan pada petani.
6.
Kegagalan panen menjadi tanggung jawab
petani.
7.
Buruh dipekerjakan secara paksa seperti yang
terjadi di Rembang, Jawa Tengah. Sejumlah 34.000 keluarga selama 8 bulan setiap
tahun diharuskan mengerjakan tanaman dagang dengan upah sangat kecil.
Untuk
memuluskan tanam paksa, pejabat kolonial memberi suap kepada bupati dan
kepala desa agar mau mengerahkan penduduk untuk menyukseskan Cultuurstelsel.
3. Penghapusan Tanam Paksa
Pada 1840 pelaksanaan cultuurstelsel menghadapi berbagai masalah. Tanda-tanda penderitaan
di kalangan rakyat Indonesia mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanaman
tebu. Pada 1846-1849 wabah-wabah penyakit mulai menjangkit. Sementara itu
kelaparan semakin meluas di Jawa Tengah sekitar 1850. Ditengah kondisi
demikian, pemerintah kolonial Belanda justru menetapkan kenaikan pajak tanah
dan pajak-pajak lainnya secara drastis.
Akibatnya, rakyat menjadi semakin menderita.
Penderitaan rakyat Indonesia menimbulkan reaksi
dari berbagai pihak, terutama golongan humanis Belanda. Golongan humanis
Belanda yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah Belanda antara lain Douwes
Dekker (Multatuli) dan Baron van Hoevel. Melalui tulisan berjudul Max Havelaar, Douwes Dekker menyampaikan
kecakamannya terhadap pemerintah kolonial Belanda atas penderitaan rakyat Jawa
akibat pelaksanaan sistem tanam paksa.
Berkat kritikan yang dilakukan oleh Douwes
Dekker, tanam paksa perlahan-lahan dihapuskan. Penghapusan terhadap jenis-jenis
tanaman dilakukan secara terhadap sebagai berikut:
1)
Tanaman lada dihapuskan pada 1862
2)
Tanaman teh dihapuskan pada 1865
3)
Tanaman tembakau dihapuskan pada 1866
4)
Tanaman tebu dihapuskan pada 1870
5)
Tanaman kopi di Priangan dihapuskan pada
1917
C.
Politik
Liberal
Reaksi golongan humanis terhadap pelaksanaan
tanam paksa di Indonesia dimanfaatkan oleh golongan liberal. Golongan liberal
Belanda menganggap cultuurstelsel
merupakan sistem tanam wajib yang sangat memberatkan rakyat. Oleh karena itu,
golongan ini menuntut adanya pembaruan bersifat liberal. Golongan liberal
menuntut parlemen Belanda membuka Indonesia bagi para pemodal asing yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu, golongan liberal menuntut
pemerintah agar bertindak sebagai pengawas, pelindung dan penyedia fasilitas
bagi para penanam modal.
Penerapan politik liberal di Indonesia membuka
peluang bagi pihak swasta untuk turut membangun perekonomian. Pada masa ini
pemerintah Belanda mengeluarkan beberapa undang-undang yang mengatur kegiatan
perekonomian di daerah koloni. Beberapa undang-undang yang dikeluarkan
pemerintah kolonial sebagai berikut:
a.
Undang-undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Undang-undang ini
dikeluarkan pada 1864 untuk mengatur setiap anggaran belanja Hindia Belanda yang
harus disahkan parlemen Belanda
b.
Undang-undang Gula (Sugar Wet). Undang-undang ini mengatur monopoli tanaman tebu oleh
pemerintah yang selanjutnya diserahkan kepada pihak swasta
c.
Undang-undang Agraria (Agrarische Wet). Undang-undang ini
dikeluarkan pada 1870 yang mengatur prinsip-prinsip politik tanah di daerah
koloni. Undang-undang Agraria memuat beberapa ketentuan berikut:
·
Tanah di Hindia Belanda dibagi menjadi
dua, yaitu tanah milik pribumi berupa persawahan, kebun, dan ladang, sewa tanah
pemerintah (tanah-tanah hutan yang tidak termasuk tanah pribumi)
·
Pemerintah mengeluarkan surat bukti
kepemilikan tanah
·
Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik
tanah pemerintah maupun tanah penduduk pribumi. Tanah pemerintah dapat disewa
sampai 75 tahun, sedangkan tanah penduduk dapat disewa hingga 30 tahun. Proses
sewa menyewa tanah tersebut harus dilaporkan kepada pemerintah
1) Pelaksanaan Politik Liberal
Politik liberal di Indonesia disebut politik
pintu terbuka (open door policy).
Pemberlakuan politik liberal ditandai adanya kebebasan usaha berupa penanaman
modal swasta di bidang perkebunan dan pertambangan. Politik liberal resmi
berlaku di Indonesia sejak peresmian Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada 1870.
Undang-undang Agraria 1870 memberikan kebebasan
kepada individu dan pihak swasta untuk mengelola tanah pemerintah. Akan tetapi,
undang-undang ini tidak mengizinkan penduduk nonpribumi memiliki tanah atas
dasar hak milik mutlak, kecuali tanah untuk pabrik. Penyewa tanah hanya berhak
memiliki tanah dengan masa kepemilikan selama sekira tujuh puluh tahun.
Ketentuan tersebut dibuat untuk melindungi hak pemilik tanah agar mereka tidak
kehilangan hak atas tanahnya.
Berdasarkan Undang-undang Agraria 1870, penduduk
pribumi dapat menyewakan tanahnya kepada para pengusaha swasta. Akan tetapi,
pengusaha swasta tidak dapat menyewa tanah milik pribumi yang digunakan untuk
menanam padi guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Perkebunan menjadi sektor yang mengalami
perkembangan signifikan pada masa politik liberal. Perusahaan perkebunan swasta
dubuka di beberapa wilayah di Indonesia. Pada umumnya pada pemilik modal
menyewa tanah penduduk pribumi. Para pemilik modal juga menjadikan penduduk
sebagai pekerja perkebunan, baik sebagai buruh seharian maupun buruh musiman.
2) Penyimpangan Politik Liberal
Meskipun perkebunan pada masa liberal mengalami
perkembangan pesat, pemerintah masih memanfaatkan birokrasi tradisional.
Pemerintah dan pihak swasta tetap menggunakan kekuasaannya untuk menindas
rakyat kecil. Sementara itu, para penanam modal asing memanfaatkan peran kepala
desa untuk mendapatkan tanah sewaan dan pekerja pribumi.
Dalam perkembangannya, pihak swasta tidak hanya
menyewa lahan kosong milik pribumi, tetapi juga lahan persawahan. Pelanggaran
ini terjadi hanya karena keserakahan pihak swasta, tetapi juga keinginan dari
penduduk pribumi untuk menyewakan tanahnya agar mereka dapat bekerja di
perkebunan sebagai buruh. Pelaksanaan politik liberal di Indonesia terus
berlanjut hingga akhir masa pemerintah kolonia Belanda pada 1942. Selanjutnya,
pada 1942 pemerintah kolonial Belanda resmi berakhir seiring kedatangan Jepang
di Indonesia.
Sumber:
1) Ringgo Rahata dkk. 2019. Sejarah Indonesia untuk SMA/MA (Pegangan Guru). Yogyakarta, PT Intan Pariwara.
2. Sejarah Tanam Paksa, dari Latar Belakang, Peraturan, hingga Penyimpangan
No comments:
Post a Comment