A.
Kerajaan Kutai
1.
Lokasi Kerajaan
·
Kerajaan
Kutai terletak di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur
·
Nama
kerajaan sesuai dengan lokasi tempat penemuan prasasti
(Gambar 1: Peta pusat kerajaan Kutai)
Sumber : docplayer.info
2.
Sumber Sejarah
Sumber berupa tulisan
(prasasti) yang berbentuk Yupa sebanyak 7 Yupa. Isi yupa:
a) Menyebutkan tentang
silsilah raja Mulawarman. Disebut juga Kudungga yang memiliki anak bernama
Aswawarman
b) Menyebut nama
Mulawarman dan ada upacara sedekah minyak kental, lampu dan malai bunga
c) Menyebutkan tentang
sedekah pohon kehidupan
d) Mulawarman menghadiahkan 20000 ekor sapi kepada para brahmana dan waprekeswara
3.
Kehidupan Politik
Sejak
muncul dan berkembang pengaruh Hindu di Kalimantan Timur, terjadi perubahan
dalam tata pemerintahan yaitu dari pemerintahan kepala suku menjadi
pemerintahan kerajaan dengan seorang raja sebagai kepala pemerintahan
Raja-raja
yang pernah memerintah di Kutai:
a)
Raja Kudungga – merupakan raja pertama. Dilihat dari
namanya, masih menggunakan nama lokal. Nama Kudungga mirip dengan nama Bugis
yaitu Kadungga. Dari beberapa sumber menyatakan bahwa Kudungga belum menganut
Hindu.
b)
Raja Aswawarman – Aswawarman merupakan putera
Kudungga. Aswawarman dianggap sebagai wangsakerta (Pendiri keluarga).
Berdasarkan prasasti Yupa menyatakan Aswawarman merupakan raja yang kuat. Pada
prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa Aswawarman disebut Dewa Ansuman atau
Dewa Matahari. Wilayah Kutai diperluas, meliputi seluruh wilayah Kalimantan
Timur.
Aswawarman
melaksanakan Upacara Asmawedha untuk memperluas wilayah
kerajaan Kutai. Upacara dilakukan dengan cara melepas kuda untuk menentukan
batas wilayah kerajaan. Kuda-kuda yang dilepas ini diikuti oleh prajurit.
Selanjutnya wilayah kerajaan ditentukan berdasar jejak telapak kaki kuda.
c)
Raja Mulawarman – merupakan putra Aswawarman. Raja yang
besar dan mengalami masa gemilang. Rakyat hidup tentram dan sejahtera.
Mulawarman merupakan penganut Hindu taat. Ia pernah mempersembahkan
20.000 ekor lembu untuk para brahmana di tanah suci Waprakeswara. Waprakeswara
merupakan tempat suci untuk memuja Dewa Syiwa. Kebaikan Raja Mulawarman
diperingati oleh para brahmana dengan mendirikan sebuah Yupa.
4.
Kehidupan Ekonomi
Perekonomian
kerajaan Kutai sangat tergantung pada keberadaan sungai Mahakam. Sampai
sekarang pun, Sungai Mahakam memiliki peran penting bagi kehidupan ekonomi
masyarakat sekitarnya. Berdasarkan bukti beberapa Yupa, dapat diketahui bahwa
perekonomian Kerajaan Kutai ditunjang oleh sector perdagangan, pertanian, dan
peternakan. Kerajaan Kutai dikenal dengan hasil hutannya seperti getah kayu
meranti, damar, gaharu, rotan, kayu cendana, dan bulu-bulu burung yang indah.
Keberadaan 20.000 ekor lembu yang dipersembahkan raja Mulawarman kepada para
brahmana menunjukkan adanya usaha peternakan yang kembangkan rakyat Kutai.
5.
Kehidupan Sosial
Agama
Hindu berpengaruh besar bagi kehidupan social masyarakat Kutai. Sebagai agama
resmi kerajaan, agama Hindu menjadi pegangan hidup bagi para penganutnya.
Penganut Hindu di Kerajaan Kutai sudah menerapkan system kasta dalam kehidupan
social. Akan tetapi, penerapan kasta di Kutai tidak seketat yang ada di India.
Masyarakat Kutai hanya mengenal dua kasta yaitu ksatria dan brahmana. Golongan
brahmana dan kesatria hidup dalam pengaruh India. Golongan brahmana memegang
peranan penting dalam penyebaran agama dan pelaksanaan upacara keagamaan.
Sementara itu, masyarakat Kutai hidup di luar pengaruh India. Mereka adalah
penduduk setempat yang masih menerapkan kebudayaan asli. Jadi meskipun Hindu
telah menjadi agama resmi kerajaan, masyarakat local menjalankan kepercayaan
aslinya.
6.
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya kerajaan Kutai ditandai dengan
adanya upacara pemberkatan bagi pemeluk baru agama Hindu(penghinduan). Upacara
ini disebut vratyastoma. Vratyastoma dilaksanakan sejak
pemerintahan raja Aswawarman. Upacara ini dipimpin oleh brahmana dari India.
Sejak pemerintahan Raja Mulawarman, kemungkinan upacara vratyastoma dipimpin oleh brahmana dari Indonesia. Adanya brahmana dari Indonesia membuktikan
bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki intelektual tinggi, terutama
pengasaan Bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta merupakan Bahasa resmi kaum
brahmana dalam kegiatan keagamaan.
Agama
Hindu di Kutai telah mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan local.
Akulturasi ini terlihat dari keberadaan Yupa pada setiap upacara kurban. Yupa
adalah tugu batu yang digunakan untuk mengikat hewan kurban. Yupa merupakan
perwujudan akulturasi budaya Hindu dan kebudayaan megalitikum yang berbentuk
menhir. Menhir biasa digunakan sebagai sarana pemujaan roh nenek moyang.
Akulturasi budaya menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia bersikap aktif dalam
menerima unsur-unsur budaya asing. Akulturasi dilakukan dengan menyesuaikan
unsur-unsur kebudayaan asing dengan kebudayaan sendiri.
B.
Kerajaan Tarumanegara
1.
Lokasi Kerajaan
Berdasarkan prasasti, letak kerajaan ada di Jawa Barat dengan pusat kerajaan sekitar Bogor sekarang. Pada masa Purnawarman, wilayah Tarumanegara hampir menguasai seluruh Jawa Barat.
2.
Sumber Sejarah
Berita Asing – Berita Cina, dari
zaman dinasti T’ang menyebutkan seorang pendeta Fa-Hien terdampar di pulau Jawa
tepatnya di To-lo-mo selama lima
bulan. Para ahli memperkirakan To-lo-mo
merupakan sebutan Cina untuk kerajaan Tarumanegara.
Dalam catatan
perjalanan, menyebutan bahwa di daerah pantai utara Pulau Jawa bagian barat telah
ditemukan masyarakat yang mendapat pengaruh Hindu (India), masyarakat itu
diperkirakan bagian dari masyarakat Tarumanegara
Sumber dalam negeri - Prasasti – yang menerangkan keberadaan Tarumanegara
antaralain prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Muara Cianten, Tugu, Pasir
Awi, Munjul
Prasasti tersebut
menggunakan bahasa sansekerta dan huruf Pallawa. Karena pada prasasti tidak
tercantum angka tahun, maka diadakan perandingan melalui huruf-huruf pada
prasasti yang ditemukan di India dan diperkirakan ditulis pada abad ke-5M
Gambar 3: Prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara
Sumber: viva.co.id
3.
Kehidupan Politik dan
Pemerintahan
Kerajaan
Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada 358M. Ia telah
memerintah Tarumanegara sejak tahun 382M. Setelah Jayasingawarman wafat, ia
digantikan oleh Raja Dharmayawarman. Masa pemerintahan raja Dharmayawarman
tidak dapat dijelaskan karena keterbatasan sumber sejarah.
Pada
tahun 395 M, kerajaan Tarumanegara berada dibawah pimpinan Raja Purnawarman.
Tahun 397, Raja Purnawarman memindahkan pusat kerajaan Tarumanegara ke daerah
pantai. Ibukota Tarumanegara bernama Sundapur. Sejak saat itu istilah “sunda”
mulai dikenal hingga sekarang. Pada masa pemerintahan Purnawarman, Tarumanegara
mencapai puncak kejayaan. Raja Purnawarman sangat memperhatikan kesejahteraan
rakyatnya.
Pada
naskah Pustaka Rajyarajya I Bhumi
Nusantara diketahui beberaja penerus raja Purnawarman. Dalam naskah
tersebut disebutkan nama Suryawarman raja ke-77 Tarumanegara yang memerintah
pada tahun 535 – 561. Disebutkan juga bahwa Suryawarman menikahkan putrinya
Tirtakancana dengan Resiguru Manikmaya. Setelah Suryawarman wafat, kepemimpinan
dilanjutkan oleh Sri Maharaja Kretawarman. Setelah Kretawarman, ada beberapa
raja yang memerintah Tarumanegara antara lain Sudawarman (628-639), Dewamurti
(639-640), Nagajayawarman (640-666), Linggawarman (666-669), dan Tarusbawa
(669-670). Kemunduran Tarumanegara terlihat pada pemerintahan raja Tarusbawa.
Pusat Kerajaan Tarumanegara selanjutnya dipindahkan ke Pakuan, Bogor dan
berganti nama menjadi Kerajaan Sunda.
4.
Kehidupan Ekonomi
Kehidupan
ekonomi kerajaan Tarumanegara bertumpu pada pertanian dan peternakan. Masyarakat
sudah mengenal system pembagian kerja. Dalam
prasasti Tugu disebutkan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan rakyat untuk
membuat saluran Gomati sepanjang 6112 tombak (12Km). Pembangunan saluran irigasi
tersebut diselesaikan dalam 21 hari. Pembangunan saluran Gomati mempunyai arti
ekonomis karena berguna sebagai sarana pengairan, pencegahan banjir, dan sarana
lalu lintas pelayaran antar daerah.
5.
Kehidupan Sosial
Dalam
prasasti Tugu dijelaskan bahwa kehidupan social Tarumanegara sudah teratur
ditunjukkan dengan adanya upaya Raja Purnawarman untuk terus meningkatkan
kesejahteraan kehidupann rakyat. Raja Purnawarman juga memperhatikan kedudukan
kaum brahmana dalam setiap pelaksanaan upacara kurban.
Masyarakat
Tarumanegara terbagi atas dua golongan masyarakat yang berlatar belakang agama
Hindu dan golongan masyarakat yang berbudaya asli. Masyarakat yang berlatar
belakang Hindu umumnya merupakan keluarga/kerabat kerajaan. Sementara itu,
sebagian besar masyarakat Tarumanegara masih menganut kebudayaan asli.
6.
Kehidupan Budaya
Masyarakat
Tarumanegara telah menguasai teknik penulisan huruf Pallawa dan Bahasa
Sanskerta pada prasasti. Ketujuh prasasti yang ditemukan di Bogor, Jakarta dan
Banten merupakan bukti perkembangan budaya tulis masyarakat Tarumanegara.
Beberapa warisan kerajaan tarumanegara diantaranya Wisnu Cibuaya, candi Jiwa
dan Candi Blandongan yang terletak di Karawang, Jawa Barat.
Kerajaan
Tarumanegara berakhir pada abad VII Masehi akibat perpecahan. Kerajaan ini
terpecah menjadi dua yaitu kerajaan Sunda yang merupakan kelanjutan
Tarumanegara dan kerajaan Galuh. Perpecahan di Tarumanegara terjadi karena
lemahnya kepemimpinan raja-raja Tarumanegara setelah raja Purnawarman.
7.
Kehidupan Agama
Dalam
prasasti Ciaruteun terdapat jejak telapak kaki Raja Purnawarman yang
melambangkan penjelmaan Dewa Wisnu. Berdasarkan informasi pada prasasti
tersebut agama Hindu berkembang di Kerajaan Tarumanegara adalah Hindu Waisnawa
atau Hindu Wisnu. Akan tetapi, agama Hindu hanya berkembang di kalangan istana
atau keluarga dan kerabat kerajaan. Sementara itu, sebagian besar penduduk
Tarumanegara masih menganut kepercayaan asli, yaitu animisme dan dinamisme.
C.
Kerajaan Kalingga
Kerajaan
Kalingga/Holing merupakan kerajaan tertua di wilayah Jawa Timur. Keberadaan
Kerajaan Kalingga diketahui dari catatan seorang pendeta sekaligus penjelajah
bernama I-Tsing dan berita Tiongkok pada masa pemerintahan Dinasti Tang.
1.
Letak geografis
Letak
kerajaan Kalingga sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli. Beberapa
sejarawan Belanda seperti N.J Krim, George Coedes, W.F Mayer, dan W.J van der
Meulen memperkiralan Kerajaan Kalingga terletak di Jawa Tengah. Para sejarawan
tersebut berpendapat bahwa kerajaan Kalingga berada di suatu tempat Antara
Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang.
2.
Sumber Sejarah
Sumber sejarah kerajaan kalingga dapat ditelusuri dari
candi angin, prasasti Tuk Mas, dan berita Cina Dinasti Tang. Namun,
kebanyakan peninggalannya tidak berisi informasi yang jelas dan hanya berupa
potongan informasi yang sulit untuk dirunut. Contohnya, dari namanya
saja, nama Kalingga berasal dari Kalinga, sebuah kerajaan di India Selatan.
Diperkirakan hal tersebut merupakan salah satu bukti lain bahwa India dan
Nusantara telah menjalin hubungan diplomatik yang erat.
Namun, terdapat sumber
yang mengatakan bahwa kerajaan ini sejarahnya bahkan sama dengan Tarumanegara, yakni didirikan oleh
pengungsi India yang kalah perang di sana dan mencari perlindungan di
Nusantara. Berikut uraian mengenai sumber sejarah kerajaan Kalingga yang
terlihat dari peninggalan-peninggalan kerajaan dan berita Asing:
a)
Prasasti Tuk Mas (Tukmas)
Prasasti ini ditemukan di lereng barat
Gunung Merapi, di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Prasasti ditulis menggunakan huruf palawa
dalam bahasa Sanskerta.
Isi prasasti menjelaskan mengenai mata air
yang amat bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut
diibaratkan sama dengan Sungai Gangga di India. Terdapat gambar-gambar lambang
Hindu seperti: keong, kendi, trisula, cakra, bunga teratai dan kapak di dalam
prasasti.
b)
Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa
Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti menggunakan
aksara Kawi dalam bahasa Melayu Kuno. Diperkirakan prasasti ini telah ada dari
sejak abad ke-7 masehi.
Prasasti memuat keluarga dari tokoh
utamanya yakni Dapunta Salendra, anak dari Santanu dan ibunya yang benama
Bhadrawati. Sementara istrinya bernama Sampula. Boechari () berpendapat bahwa
tokoh yang bernama Dapunta Sailendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan
Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Medang.
Kedua temuan prasasti Sojomerto menunjukkan
bahwa dulunya, di kawasan pantai utara Jawa tengah berkembang kerajaan bercorak
Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan adanya hubungan Kalingga dengan Wangsa
Sailendra dan Kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa bagian Tengah
Selatan.
c)
Candi Angin
Candi Angin ditemukan di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Karena letaknya yang sangat tinggi (berangin) namun boleh dikatakan tidak roboh tertiup angin, maka candi ini dinamakan Candi Angin.
Gambar 5: Candi Angin
Sumber: murianews.com
Menurut para peneliti, Candi Angin bahkan
lebih tua dari Candi Borobudur. Beberapa Ahli malah berpendapat bahwa Candi ini
dibangun oleh manusia purba karena belum terdapat ornamen-ornamen Hindu-Buddha.
d)
Candi Bubrah
Candi Bubrah merupakan salah satu Candi
Buddha yang berada dalam kompleks Candi Prambanan. Tepatnya, di antara
Percandian Rara Jonggrang dan Candi Sewu. Candi ini ditemukan di Dukuh Bener,
Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Candi ini diperkirakan sebetulnya memiliki
ukuran 12 m x 12 m terbuat dari batu andesit. Namun, yang tersisa dari candi
ini hanyalah reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat ditemukan terdapat beberapa
arca Buddha, namun wujudnya sudah tidak utuh lagi.
Disebut candi Bubrah karena Candi ini
ditemukan dalam keadaan rusak yang dalam bahasa Jawa adalah “bubrah”. Perkiraan
para Ahli, Candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno
yang masih berhubungan dengan Kerajaan Kalingga.
e)
Situs Puncak Sanga Likur
Situs ditemukan di Puncak Gunung Muria,
yakni Rahtawu, tidak jauh dari Kecamatan Keling. Di area situs, ditemukan empat
arca batu, yakni:
1. Arca Batara
Guru
2. Narada
3. Togog
4. Wisnu
Hingga saat ini belum dapat dipastikan
bagaimana keempat arca tersebut dapat diangkut ke puncak gunung, mengingat
medan pendakian yang begitu berat. Selain keempat arca tersebut, Prasasti
Rahtawun juga ditemukan pada tahun 1990 oleh Prof. Gunadi dan empat staffnya
dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta.
Di kawasan situs juga ditemukan enam tempat
pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak gunung.
Masing-masing diberi nama pewayangan: Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko,
Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.
f)
Berita dari Cina Mengenai Kerajaan Kalingga
Berita atau catatan dari negeri Cina
mengenai Kalingga meliputi catatan Dinasti Tang, Catatan I-Tsing, naskah
Wai-Tai-Ta, hingga ke Dinasti Ming. Berikut adalah pemaparannya
g)
Catatan Dinasti Tang
Dinasti Tang memberikan beberapa keterangan
sebagai berikut.
1. Kalingga
terletak di Lautan Selatan, di sebelah utaranya terletak Ta-Hen-La atau Chen-La
(Kamboja), disebelah timurnya terdapat Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat
terletak pulau Sumatra.
2. Ibu kota
Kalingga dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu
3. Raja atau Ratu
tinggal di suatu bangunan besar yang bertingkat, beratap daun palem dan
singgasananya terbuat dari gading.
4. Penduduk
Kerajaan Kalingga sudah pandai memproduksi minuman keras dari bunga kelapa.
5. Kalingga
menghasilkan produk kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah.
Catatan ini juga mengisahkan bahwa sejak
tahun 674 rakyat Kalingga berada di bawah kekuasaan Ratu Hsi-ma (Shima/Sima).
Digambarkan bahwa Ratu Sima adalah sosok ratu yang adil dan bijaksana. Kerajaan
Kalingga pada masa pemerintahannya merupakan kerajaan yang aman dan tenteram.
h)
Catatan
I-Tsing
Catatan I-Tsing (664-655 M) menyebutkan
bahwa pada abad ke-7, tanah Jawa menjadi salah satu pusat pengetahuan agama
Buddha Hinaya. Pusat yang dimaksud adalah Kalingga, di sana ada pendeta bernas
Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke Bahasa Mandarin.
Ia bekerja bersama dengan pendeta Jawa
bernama Janabadra. Kitab terjemahan tersebut antara lain memuat cerita mengenai
Nirwana.
i)
Naskah Wai-Tai-Ta
Pada abad 12 M, naskah Wai-Tai-Ta dari Cina
menyebutkan bahwa Chepo atau Jawa disebut juga sebagai Poe-Chua-Lung. Ternyata,
seiring perkembangan ilmu Sinologi dan Bahasa, para ahli memperkirakan bahwa
Poe-Chua-Lung merujuk ke Pekalongan.
Poe-Chua-Lung adalah penamaan suatu daerah
pelabuhan di pantai utara Jawa pada masa Dinasi Tsung. Mereka menganggap bahwa
pelabuhan Pekalongan adalah gerbang utama Jawa, sehingga Poe-Chua-Lung juga
menjadi sebutan lain untuk Jawa. Tentunya, yang dimaksud adalah pelabuhan di
Pekalongan.
j)
Catatan Dinasti Ming
Laksamana Cheng Ho dari Dinasi Ming pada
tahun 1439 Masehi singgah di Pekalongan. Ia menyebut Pekalongan (Poe-Chua-Lung)
sebagai Wu-Chueh yang berarti pulau yang indah.
Sebutan tersebut diketahui dari catatan
Hma-Huan, sekretaris Laksamana Cheng-Ho yang menulis mengenai sebutan Wu-Chueh
dari Laksamana tersebut di dalam bagian Yang-Yai-Sheng-Lan (pemandangan yang
indah-indah).
k)
Carita Parahyangan
Selain berita dari luar negeri, terdapat
pula catatan lokal yang berhubungan dengan Kerajaan Kalingga. Berdasarkan
naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima,
yakni Parwati menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang bernama
Mandiminyak yang kelak menjadi raja kedua dari Galuh.
Ratu Sima memiliki cucu bernama Sanaha yang
Mekkah dengan raja ketiga Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa
memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan
Galuh (723-732 M).
Setelah Ratu Sima meninggal pada tahun 732
M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang
kemudian disebut Bumi Mataram, hingga akhirnya menjadi Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkan kepada
putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya atau Rakeyan Panaraban.
Kemudian, Raja Sanjaya menikahi Sudiwara putri Dwasinga, Raja Kalingga Selatan
atau Bumi Sambara dan memilki putra, yakni Rakai Panangkaran.
3.
Kehidupan Politik
Menurut
berita Tiongkok, pada 674 M Kerajaan Kalingga dipimpin oleh seorang ratu
bernama Sima. Ratu Sima menjalankan pemerintahan secara tegas, keras, adil dan
bijaksana. Salah satu aturan yang diterapkan Ratu Sima adalah rakyat Kalingga
dilarang menyentuh dan mengambil barang yang bukan milik mereka. Bagi siapapun
yang melanggar akan mendapat hukuman berat. Oleh karena itu, ketertiban dan
ketentraman di Kalingga dapat berjalan dengan baik.
Ratu
Sima memiliki cucu bernama Sanaha yang menikah dengan raja Brantasenawa dari
Kerajaan Galuh. Sanaha memiliki anak bernama Sanjaya yang kelak menjadi pendiri
kerajaan Mataram Kuno dan mendirikan dinasti Sanjaya. Dalam perkembangannya,
keruntuhan Kerajaan Kalingga ditandai dengan wafatnya Ratu Sima. Sepeninggal
Ratu Sima, kerajaan Kalingga ditaklukkan Kerajaan Sirwijaya.
4.
Kehidupan Ekonomi
Perekonomian
kerajaan Kalingga bertumpu pada sector perdagangan dan pertanian. Letaknya
berada di pesisir utara Jawa bagian tengah menyebabkan sector perdagangan
maritime dapat berkembang di Kalingga. Komoditas perdagangan Kalingga
antaralain kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading. Wilayah pedalaman
yang subur dimanfaatkan untuk mengembangkan pertanian.
5.
Kehidupan Agama
Pada
masa kejayaannya, Kerajaan Kalingga menjadi pusat perkembangan agama Buddha di
Jawa. Agama Buddha berkembang di Kalingga merupakan ajaran Buddha Hinayana.
Pada 664, seorang pendeta Buddha dari Tiongkok bernama Hwi-ning berkunjung ke
Kalingga. Kedatangan Hwi-ning bertujuan menerjemahkan sebuah naskah terkenal
agama Buddha Hinayana dari Bahasa Sanskerta ke Bahasa Tiongkok. Usaha Hwi-ning
tersebut dibantu oleh seorang pendeta Buddha dari Jawa bernama Janabadra.
6.
Kehidupan Budaya
Penduduk
Kalingga memiliki kehidupan teratur. Ketertiban dan ketentraman social di
wilayah Kalingga berjalan dengan baik berkat kepemimpinan Ratu Sima. Ia memerintah
secara tegas dan bijaksana. Dalam menegakkan hukum, Ratu Sima berlaku adil. Ia menegakkan
hukum tanpa memandang status social.
- Magda Alfian, Dkk. 2007. Sejarah : Untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPS. Jakarta. Esis
- Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017. Sejarah Indonesia Kelas XI Semester 1. (edisi Revisi). Jakarta
- Danik Isnaini, Sri Pujiani. 2020. PR Sejarah Indonesia untuk SMA dan MA kelas XI semester 1. Yogyakarta. PT Intan Pariwara
- Gamal Thabroni. 2020. Kerajaan Kalingga: Sejarah, Peninggalan, Silsilah (Lengkap). Diakses pada 25 Agustus 2020
No comments:
Post a Comment