Monday, August 24, 2020

Kerajaan-Kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia : Kutai dan Tarumanegara

A.     Kerajaan Kutai

1.     Lokasi Kerajaan

·         Kerajaan Kutai terletak di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

·         Nama kerajaan sesuai dengan lokasi tempat penemuan prasasti


(Gambar 1: Peta pusat kerajaan Kutai)

Sumber : docplayer.info

 

2.     Sumber Sejarah

Sumber berupa tulisan (prasasti) yang berbentuk Yupa sebanyak 7 Yupa. Isi yupa:

a)     Menyebutkan tentang silsilah raja Mulawarman. Disebut juga Kudungga yang memiliki anak bernama Aswawarman

b)     Menyebut nama Mulawarman dan ada upacara sedekah minyak kental, lampu dan malai bunga

c)      Menyebutkan tentang sedekah pohon kehidupan

d)     Mulawarman menghadiahkan 20000 ekor sapi kepada para brahmana dan waprekeswara

3.     Kehidupan Politik

Sejak muncul dan berkembang pengaruh Hindu di Kalimantan Timur, terjadi perubahan dalam tata pemerintahan yaitu dari pemerintahan kepala suku menjadi pemerintahan kerajaan dengan seorang raja sebagai kepala pemerintahan

Raja-raja yang pernah memerintah di Kutai:

a)    Raja Kudungga – merupakan raja pertama. Dilihat dari namanya, masih menggunakan nama lokal. Nama Kudungga mirip dengan nama Bugis yaitu Kadungga. Dari beberapa sumber menyatakan bahwa Kudungga belum menganut Hindu. 

b)    Raja Aswawarman Aswawarman merupakan putera Kudungga. Aswawarman dianggap sebagai wangsakerta (Pendiri keluarga). Berdasarkan prasasti Yupa menyatakan Aswawarman merupakan raja yang kuat. Pada prasasti Yupa juga dijelaskan bahwa Aswawarman disebut Dewa Ansuman atau Dewa Matahari. Wilayah Kutai diperluas, meliputi seluruh wilayah Kalimantan Timur. 

Aswawarman melaksanakan Upacara Asmawedha untuk memperluas wilayah kerajaan Kutai. Upacara dilakukan dengan cara melepas kuda untuk menentukan batas wilayah kerajaan. Kuda-kuda yang dilepas ini diikuti oleh prajurit. Selanjutnya wilayah kerajaan ditentukan berdasar jejak telapak kaki kuda.

c)     Raja Mulawarman – merupakan putra Aswawarman. Raja yang besar dan mengalami masa gemilang. Rakyat hidup tentram dan sejahtera. Mulawarman merupakan penganut Hindu taat. Ia pernah mempersembahkan 20.000 ekor lembu untuk para brahmana di tanah suci Waprakeswara. Waprakeswara merupakan tempat suci untuk memuja Dewa Syiwa. Kebaikan Raja Mulawarman diperingati oleh para brahmana dengan mendirikan sebuah Yupa.


4.     Kehidupan Ekonomi

Perekonomian kerajaan Kutai sangat tergantung pada keberadaan sungai Mahakam. Sampai sekarang pun, Sungai Mahakam memiliki peran penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya. Berdasarkan bukti beberapa Yupa, dapat diketahui bahwa perekonomian Kerajaan Kutai ditunjang oleh sector perdagangan, pertanian, dan peternakan. Kerajaan Kutai dikenal dengan hasil hutannya seperti getah kayu meranti, damar, gaharu, rotan, kayu cendana, dan bulu-bulu burung yang indah. Keberadaan 20.000 ekor lembu yang dipersembahkan raja Mulawarman kepada para brahmana menunjukkan adanya usaha peternakan yang kembangkan rakyat Kutai.

5.     Kehidupan Sosial

Agama Hindu berpengaruh besar bagi kehidupan social masyarakat Kutai. Sebagai agama resmi kerajaan, agama Hindu menjadi pegangan hidup bagi para penganutnya. Penganut Hindu di Kerajaan Kutai sudah menerapkan system kasta dalam kehidupan social. Akan tetapi, penerapan kasta di Kutai tidak seketat yang ada di India. Masyarakat Kutai hanya mengenal dua kasta yaitu ksatria dan brahmana. Golongan brahmana dan kesatria hidup dalam pengaruh India. Golongan brahmana memegang peranan penting dalam penyebaran agama dan pelaksanaan upacara keagamaan. Sementara itu, masyarakat Kutai hidup di luar pengaruh India. Mereka adalah penduduk setempat yang masih menerapkan kebudayaan asli. Jadi meskipun Hindu telah menjadi agama resmi kerajaan, masyarakat local menjalankan kepercayaan aslinya.

6.     Kehidupan Budaya

Kehidupan budaya kerajaan Kutai ditandai dengan adanya upacara pemberkatan bagi pemeluk baru agama Hindu(penghinduan). Upacara ini disebut vratyastoma. Vratyastoma dilaksanakan sejak pemerintahan raja Aswawarman. Upacara ini dipimpin oleh brahmana dari India. Sejak pemerintahan Raja Mulawarman, kemungkinan upacara vratyastoma dipimpin oleh brahmana dari Indonesia.  Adanya brahmana dari Indonesia membuktikan bahwa masyarakat Indonesia telah memiliki intelektual tinggi, terutama pengasaan Bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta merupakan Bahasa resmi kaum brahmana dalam kegiatan keagamaan.

Agama Hindu di Kutai telah mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan local. Akulturasi ini terlihat dari keberadaan Yupa pada setiap upacara kurban. Yupa adalah tugu batu yang digunakan untuk mengikat hewan kurban. Yupa merupakan perwujudan akulturasi budaya Hindu dan kebudayaan megalitikum yang berbentuk menhir. Menhir biasa digunakan sebagai sarana pemujaan roh nenek moyang. Akulturasi budaya menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia bersikap aktif dalam menerima unsur-unsur budaya asing. Akulturasi dilakukan dengan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan asing dengan kebudayaan sendiri.

B.     Kerajaan Tarumanegara

1.     Lokasi Kerajaan

Berdasarkan prasasti, letak kerajaan ada di Jawa Barat dengan pusat kerajaan sekitar Bogor sekarang. Pada masa Purnawarman, wilayah Tarumanegara hampir  menguasai seluruh Jawa Barat.

Gambar 2: Peta Kerajaan Tarumanegara
Sumber: wikipedia.co.id

2.     Sumber Sejarah

Berita Asing – Berita Cina, dari zaman dinasti T’ang menyebutkan seorang pendeta Fa-Hien terdampar di pulau Jawa tepatnya di To-lo-mo selama lima bulan. Para ahli memperkirakan To-lo-mo merupakan sebutan Cina untuk kerajaan Tarumanegara.

Dalam catatan perjalanan, menyebutan bahwa di daerah pantai utara Pulau Jawa bagian barat telah ditemukan masyarakat yang mendapat pengaruh Hindu (India), masyarakat itu diperkirakan  bagian dari masyarakat Tarumanegara

Sumber dalam negeri - Prasasti – yang menerangkan keberadaan Tarumanegara antaralain prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Muara Cianten, Tugu, Pasir Awi, Munjul

Prasasti tersebut menggunakan bahasa sansekerta dan huruf Pallawa. Karena pada prasasti tidak tercantum angka tahun, maka diadakan perandingan melalui huruf-huruf pada prasasti yang ditemukan di India dan diperkirakan ditulis pada abad ke-5M

Gambar 3: Prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara

Sumber: viva.co.id

3.     Kehidupan Politik dan Pemerintahan

Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada 358M. Ia telah memerintah Tarumanegara sejak tahun 382M. Setelah Jayasingawarman wafat, ia digantikan oleh Raja Dharmayawarman. Masa pemerintahan raja Dharmayawarman tidak dapat dijelaskan karena keterbatasan sumber sejarah.

Pada tahun 395 M, kerajaan Tarumanegara berada dibawah pimpinan Raja Purnawarman. Tahun 397, Raja Purnawarman memindahkan pusat kerajaan Tarumanegara ke daerah pantai. Ibukota Tarumanegara bernama Sundapur. Sejak saat itu istilah “sunda” mulai dikenal hingga sekarang. Pada masa pemerintahan Purnawarman, Tarumanegara mencapai puncak kejayaan. Raja Purnawarman sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

Pada naskah Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara diketahui beberaja penerus raja Purnawarman. Dalam naskah tersebut disebutkan nama Suryawarman raja ke-77 Tarumanegara yang memerintah pada tahun 535 – 561. Disebutkan juga bahwa Suryawarman menikahkan putrinya Tirtakancana dengan Resiguru Manikmaya. Setelah Suryawarman wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh Sri Maharaja Kretawarman. Setelah Kretawarman, ada beberapa raja yang memerintah Tarumanegara antara lain Sudawarman (628-639), Dewamurti (639-640), Nagajayawarman (640-666), Linggawarman (666-669), dan Tarusbawa (669-670). Kemunduran Tarumanegara terlihat pada pemerintahan raja Tarusbawa. Pusat Kerajaan Tarumanegara selanjutnya dipindahkan ke Pakuan, Bogor dan berganti nama menjadi Kerajaan Sunda.

4.     Kehidupan Ekonomi

Kehidupan ekonomi kerajaan Tarumanegara bertumpu pada pertanian dan peternakan. Masyarakat sudah mengenal system pembagian kerja.  Dalam prasasti Tugu disebutkan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan rakyat untuk membuat saluran Gomati sepanjang 6112 tombak (12Km). Pembangunan saluran irigasi tersebut diselesaikan dalam 21 hari. Pembangunan saluran Gomati mempunyai arti ekonomis karena berguna sebagai sarana pengairan, pencegahan banjir, dan sarana lalu lintas pelayaran antar daerah.

5.     Kehidupan Sosial

Dalam prasasti Tugu dijelaskan bahwa kehidupan social Tarumanegara sudah teratur ditunjukkan dengan adanya upaya Raja Purnawarman untuk terus meningkatkan kesejahteraan kehidupann rakyat. Raja Purnawarman juga memperhatikan kedudukan kaum brahmana dalam setiap pelaksanaan upacara kurban.

Masyarakat Tarumanegara terbagi atas dua golongan masyarakat yang berlatar belakang agama Hindu dan golongan masyarakat yang berbudaya asli. Masyarakat yang berlatar belakang Hindu umumnya merupakan keluarga/kerabat kerajaan. Sementara itu, sebagian besar masyarakat Tarumanegara masih menganut kebudayaan asli.

6.     Kehidupan Budaya

Masyarakat Tarumanegara telah menguasai teknik penulisan huruf Pallawa dan Bahasa Sanskerta pada prasasti. Ketujuh prasasti yang ditemukan di Bogor, Jakarta dan Banten merupakan bukti perkembangan budaya tulis masyarakat Tarumanegara. Beberapa warisan kerajaan tarumanegara diantaranya Wisnu Cibuaya, candi Jiwa dan Candi Blandongan yang terletak di Karawang, Jawa Barat.

Kerajaan Tarumanegara berakhir pada abad VII Masehi akibat perpecahan. Kerajaan ini terpecah menjadi dua yaitu kerajaan Sunda yang merupakan kelanjutan Tarumanegara dan kerajaan Galuh. Perpecahan di Tarumanegara terjadi karena lemahnya kepemimpinan raja-raja Tarumanegara setelah raja Purnawarman.

7.     Kehidupan Agama

Dalam prasasti Ciaruteun terdapat jejak telapak kaki Raja Purnawarman yang melambangkan penjelmaan Dewa Wisnu. Berdasarkan informasi pada prasasti tersebut agama Hindu berkembang di Kerajaan Tarumanegara adalah Hindu Waisnawa atau Hindu Wisnu. Akan tetapi, agama Hindu hanya berkembang di kalangan istana atau keluarga dan kerabat kerajaan. Sementara itu, sebagian besar penduduk Tarumanegara masih menganut kepercayaan asli, yaitu animisme dan dinamisme.

C.      Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga/Holing merupakan kerajaan tertua di wilayah Jawa Timur. Keberadaan Kerajaan Kalingga diketahui dari catatan seorang pendeta sekaligus penjelajah bernama I-Tsing dan berita Tiongkok pada masa pemerintahan Dinasti Tang.

1.     Letak geografis

Letak kerajaan Kalingga sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli. Beberapa sejarawan Belanda seperti N.J Krim, George Coedes, W.F Mayer, dan W.J van der Meulen memperkiralan Kerajaan Kalingga terletak di Jawa Tengah. Para sejarawan tersebut berpendapat bahwa kerajaan Kalingga berada di suatu tempat Antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang.

Gambar 4: peta kerajaan Kalingga
Sumber: wikipedia.co.id


2.     Sumber Sejarah

Sumber sejarah kerajaan kalingga dapat ditelusuri dari candi angin, prasasti Tuk Mas, dan berita Cina Dinasti Tang. Namun, kebanyakan peninggalannya tidak berisi informasi yang jelas dan hanya berupa potongan informasi yang sulit untuk dirunut. Contohnya, dari namanya saja, nama Kalingga berasal dari Kalinga, sebuah kerajaan di India Selatan. Diperkirakan hal tersebut merupakan salah satu bukti lain bahwa India dan Nusantara telah menjalin hubungan diplomatik yang erat.

Namun, terdapat sumber yang mengatakan bahwa kerajaan ini sejarahnya bahkan sama dengan Tarumanegara, yakni didirikan oleh pengungsi India yang kalah perang di sana dan mencari perlindungan di Nusantara. Berikut uraian mengenai sumber sejarah kerajaan Kalingga yang terlihat dari peninggalan-peninggalan kerajaan dan berita Asing:

a)          Prasasti Tuk Mas (Tukmas)

Prasasti ini ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Prasasti ditulis menggunakan huruf palawa dalam bahasa Sanskerta.

Isi prasasti menjelaskan mengenai mata air yang amat bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut diibaratkan sama dengan Sungai Gangga di India. Terdapat gambar-gambar lambang Hindu seperti: keong, kendi, trisula, cakra, bunga teratai dan kapak di dalam prasasti.

b)         Prasasti Sojomerto

Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti menggunakan aksara Kawi dalam bahasa Melayu Kuno. Diperkirakan prasasti ini telah ada dari sejak abad ke-7 masehi.

Prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya yakni Dapunta Salendra, anak dari Santanu dan ibunya yang benama Bhadrawati. Sementara istrinya bernama Sampula. Boechari () berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Sailendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Medang.

Kedua temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa dulunya, di kawasan pantai utara Jawa tengah berkembang kerajaan bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan adanya hubungan Kalingga dengan Wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa bagian Tengah Selatan.

c)           Candi Angin

Candi Angin ditemukan di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Karena letaknya yang sangat tinggi (berangin) namun boleh dikatakan tidak roboh tertiup angin, maka candi ini dinamakan Candi Angin.

Gambar 5: Candi Angin

Sumber: murianews.com

Menurut para peneliti, Candi Angin bahkan lebih tua dari Candi Borobudur. Beberapa Ahli malah berpendapat bahwa Candi ini dibangun oleh manusia purba karena belum terdapat ornamen-ornamen Hindu-Buddha.

d)         Candi Bubrah

Candi Bubrah merupakan salah satu Candi Buddha yang berada dalam kompleks Candi Prambanan. Tepatnya, di antara Percandian Rara Jonggrang dan Candi Sewu. Candi ini ditemukan di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Candi ini diperkirakan sebetulnya memiliki ukuran 12 m x 12 m terbuat dari batu andesit. Namun, yang tersisa dari candi ini hanyalah reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat ditemukan terdapat beberapa arca Buddha, namun wujudnya sudah tidak utuh lagi.

Disebut candi Bubrah karena Candi ini ditemukan dalam keadaan rusak yang dalam bahasa Jawa adalah “bubrah”. Perkiraan para Ahli, Candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno yang masih berhubungan dengan Kerajaan Kalingga.

e)          Situs Puncak Sanga Likur

Situs ditemukan di Puncak Gunung Muria, yakni Rahtawu, tidak jauh dari Kecamatan Keling. Di area situs, ditemukan empat arca batu, yakni:

1.      Arca Batara Guru

2.      Narada

3.      Togog

4.      Wisnu

Hingga saat ini belum dapat dipastikan bagaimana keempat arca tersebut dapat diangkut ke puncak gunung, mengingat medan pendakian yang begitu berat. Selain keempat arca tersebut, Prasasti Rahtawun juga ditemukan pada tahun 1990 oleh Prof. Gunadi dan empat staffnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta.

Di kawasan situs juga ditemukan enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak gunung. Masing-masing diberi nama pewayangan: Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.

f)              Berita dari Cina Mengenai Kerajaan Kalingga

Berita atau catatan dari negeri Cina mengenai Kalingga meliputi catatan Dinasti Tang, Catatan I-Tsing, naskah Wai-Tai-Ta, hingga ke Dinasti Ming. Berikut adalah pemaparannya

g)           Catatan Dinasti Tang

Dinasti Tang memberikan beberapa keterangan sebagai berikut.

1.      Kalingga terletak di Lautan Selatan, di sebelah utaranya terletak Ta-Hen-La atau Chen-La (Kamboja), disebelah timurnya terdapat Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak pulau Sumatra.

2.      Ibu kota Kalingga dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu

3.      Raja atau Ratu tinggal di suatu bangunan besar yang bertingkat, beratap daun palem dan singgasananya terbuat dari gading.

4.      Penduduk Kerajaan Kalingga sudah pandai memproduksi minuman keras dari bunga kelapa.

5.       Kalingga menghasilkan produk kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah.

Catatan ini juga mengisahkan bahwa sejak tahun 674 rakyat Kalingga berada di bawah kekuasaan Ratu Hsi-ma (Shima/Sima). Digambarkan bahwa Ratu Sima adalah sosok ratu yang adil dan bijaksana. Kerajaan Kalingga pada masa pemerintahannya merupakan kerajaan yang aman dan tenteram.

h)         Catatan I-Tsing

Catatan I-Tsing (664-655 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7, tanah Jawa menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinaya. Pusat yang dimaksud adalah Kalingga, di sana ada pendeta bernas Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke Bahasa Mandarin.

Ia bekerja bersama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan tersebut antara lain memuat cerita mengenai Nirwana.

i)              Naskah Wai-Tai-Ta

Pada abad 12 M, naskah Wai-Tai-Ta dari Cina menyebutkan bahwa Chepo atau Jawa disebut juga sebagai Poe-Chua-Lung. Ternyata, seiring perkembangan ilmu Sinologi dan Bahasa, para ahli memperkirakan bahwa Poe-Chua-Lung merujuk ke Pekalongan.

Poe-Chua-Lung adalah penamaan suatu daerah pelabuhan di pantai utara Jawa pada masa Dinasi Tsung. Mereka menganggap bahwa pelabuhan Pekalongan adalah gerbang utama Jawa, sehingga Poe-Chua-Lung juga menjadi sebutan lain untuk Jawa. Tentunya, yang dimaksud adalah pelabuhan di Pekalongan.

j)              Catatan Dinasti Ming

Laksamana Cheng Ho dari Dinasi Ming pada tahun 1439 Masehi singgah di Pekalongan. Ia menyebut Pekalongan (Poe-Chua-Lung) sebagai Wu-Chueh yang berarti pulau yang indah.

Sebutan tersebut diketahui dari catatan Hma-Huan, sekretaris Laksamana Cheng-Ho yang menulis mengenai sebutan Wu-Chueh dari Laksamana tersebut di dalam bagian Yang-Yai-Sheng-Lan (pemandangan yang indah-indah).

k)         Carita Parahyangan

Selain berita dari luar negeri, terdapat pula catatan lokal yang berhubungan dengan Kerajaan Kalingga. Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, yakni Parwati menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak yang kelak menjadi raja kedua dari Galuh.

Ratu Sima memiliki cucu bernama Sanaha yang Mekkah dengan raja ketiga Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Galuh (723-732 M).

Setelah Ratu Sima meninggal pada tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, hingga akhirnya menjadi Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkan kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya atau Rakeyan Panaraban. Kemudian, Raja Sanjaya menikahi Sudiwara putri Dwasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara dan memilki putra, yakni Rakai Panangkaran.

3.     Kehidupan Politik

Menurut berita Tiongkok, pada 674 M Kerajaan Kalingga dipimpin oleh seorang ratu bernama Sima. Ratu Sima menjalankan pemerintahan secara tegas, keras, adil dan bijaksana. Salah satu aturan yang diterapkan Ratu Sima adalah rakyat Kalingga dilarang menyentuh dan mengambil barang yang bukan milik mereka. Bagi siapapun yang melanggar akan mendapat hukuman berat. Oleh karena itu, ketertiban dan ketentraman di Kalingga dapat berjalan dengan baik.

Ratu Sima memiliki cucu bernama Sanaha yang menikah dengan raja Brantasenawa dari Kerajaan Galuh. Sanaha memiliki anak bernama Sanjaya yang kelak menjadi pendiri kerajaan Mataram Kuno dan mendirikan dinasti Sanjaya. Dalam perkembangannya, keruntuhan Kerajaan Kalingga ditandai dengan wafatnya Ratu Sima. Sepeninggal Ratu Sima, kerajaan Kalingga ditaklukkan Kerajaan Sirwijaya.

4.     Kehidupan Ekonomi

Perekonomian kerajaan Kalingga bertumpu pada sector perdagangan dan pertanian. Letaknya berada di pesisir utara Jawa bagian tengah menyebabkan sector perdagangan maritime dapat berkembang di Kalingga. Komoditas perdagangan Kalingga antaralain kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading. Wilayah pedalaman yang subur dimanfaatkan untuk mengembangkan pertanian.

5.     Kehidupan Agama

Pada masa kejayaannya, Kerajaan Kalingga menjadi pusat perkembangan agama Buddha di Jawa. Agama Buddha berkembang di Kalingga merupakan ajaran Buddha Hinayana. Pada 664, seorang pendeta Buddha dari Tiongkok bernama Hwi-ning berkunjung ke Kalingga. Kedatangan Hwi-ning bertujuan menerjemahkan sebuah naskah terkenal agama Buddha Hinayana dari Bahasa Sanskerta ke Bahasa Tiongkok. Usaha Hwi-ning tersebut dibantu oleh seorang pendeta Buddha dari Jawa bernama Janabadra.

6.     Kehidupan Budaya

Penduduk Kalingga memiliki kehidupan teratur. Ketertiban dan ketentraman social di wilayah Kalingga berjalan dengan baik berkat kepemimpinan Ratu Sima. Ia memerintah secara tegas dan bijaksana. Dalam menegakkan hukum, Ratu Sima berlaku adil. Ia menegakkan hukum tanpa memandang status social.

Sumber:

  1. Magda Alfian, Dkk. 2007. Sejarah : Untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPS. Jakarta. Esis
  2. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2017. Sejarah Indonesia Kelas XI Semester 1. (edisi Revisi). Jakarta
  3. Danik Isnaini, Sri Pujiani. 2020. PR Sejarah Indonesia untuk SMA dan MA kelas XI semester 1. Yogyakarta. PT Intan Pariwara
  4. Gamal Thabroni. 2020. Kerajaan Kalingga: Sejarah, Peninggalan, Silsilah (Lengkap). Diakses pada 25 Agustus 2020

 


No comments:

Post a Comment